Pemantauan Persidangan Upaya KY Agar Hak PBH Dipenuhi
Anggota KY Sukma Violetta dalam Training of Trainee (ToT) Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pemantauan Persidangan Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dan Perkara Pilkada Tahun 2024 di wilayah Bogor dan sekitarnya, Rabu, (11/9/2024) di Bogor, Jawa Barat.

Bogor (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) mempunyai andil dalam pemenuhan hak Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) melalui tugasnya untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Terlebih, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyampaikan hasil kajiannya di tahun 2021 bahwa Perma No.3 Tahun 2017 masih kurang diperkenalkan dan dipahami oleh para hakim. Hal ini menjadi salah satu alasan KY untuk fokus pada pemantauan perkara PBH.

"Dalam satu dan dua tahun terakhir ini, kekerasan seksual sudah merambah pada lembaga pendidikan berbasis agama, sehingga KY bermaksud mememaksimalkan peran di sini. Akan tetapi, sifat dari persidangan PBH ini biasanya tertutup karena terkait asusila, oleh karena itu diperlukan kolaborasi dari pendamping PBH untuk melakukan pemantauan persidangan," jelas Anggota KY Sukma Violetta dalam Training of Trainee (ToT) Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pemantauan Persidangan Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dan Perkara Pilkada Tahun 2024 di wilayah Bogor dan sekitarnya, Rabu, (11/9/2024) di Bogor, Jawa Barat. 

Sukma optimis, bila kolaborasi dalam pemantauan persidangan ini akan mendatangkan banyak manfaat untuk menghapus diskriminasi, penguatan perlindungan, serta memastikan hak PBH terpenuhi.

"Pemantauan terhadap perkara PBH dimaksudkan untuk mengamati hakim dalam menerapkan asas-asas keadilan, non diskriminasi, dan kesetaraan gender serta pemenuhan hak PBH sebagai wujud penegakan KEPPH," tambah Sukma.

Urgensi pemantauan persidangan PBH juga diutarakan Ketua Dewan Pers dan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Militer Ninik Rahayu. Ninik menilai perempuan dianggap kelompok rentan karena masih banyak pandangan sosial, bahkan produk-produk hukum yang mendiskriminasi. 

"Laki-laki  dan perempuan bisa saja sama-sama sebagai korban, tetapi yang menderita banyak itu kan perempuan. Perempuan menjadi rentan karena diskriminasi gender. Apalagi kalau ia lansia perempuan, ia tidak berpendidikan, ia tidak sejahtera, ia disabilitas ataupun ia anak perempuan yang sebagian dari mereka dilegitimasi secara kultural dan dilegitimasi oleh undang-undang yang belum berubah, contohnya UU Perkawinan," tegas Ninik.

Melalui pemantau bersama KY, Ninik berharap  secara bersama-sama dapat penjaga para aparat penegak hukum, khususnya hakim, tidak sewenang-wenang serta dapat menghasilkan putusan yang adil.

"Intinya kontrol dan pantau hakimnya, jaksanya, perilaku penasihat hukumnya juga harus karena tidak semua penasihat hukum itu meringankan PBH. Cek itu, para APH tidak semua punya perspektif kesetaraan gender yang baik. Pastikan semua hak PBH terpenuhi," tutup Ninik.

Kepala Bagian Pemantauan Persidangan KY Niniek Ariyani mendorong partisipasi masyarakat dalam mewujudkan peradilan yang adil dalam bentuk pemantauan secara mandiri, terstruktur, dan berkelanjutan oleh masyarakat. Secara sederhana, lanjut Niniek, pemantau perlu mencatat apa yang dilihat dan didengar dari majelis hakim sebagai penilaian perilaku hakim. Sedangkan pada aspek proses persidangan, pemantau diharapkan mampu menuliskan apakah hakim bersidang sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan hukum acara yang berlaku. Kemudian dalam aspek kondisi dan situasi persidangan pemantau juga diharapkan dapat mengecek sarana dan prasarana pengadilan, khususnya aksesibilitas untuk kaum rentan dan disabilitas.

"Semua panduan tentang penilaian ketiga aspek tadi sudah KY siapkan dalam bentuk buku. Buku ini menguraikan kaitan antara 10 prinsip dalam KEPPH dengan perilaku hakim dalam memeriksa dan mengadili PBH. Diharapkan buku ini dapat menjadi pedoman bagi masyarakat dalam melakukan pemantauan persidangan perkara perempuan berhadapan dengan hukum," harap Niniek. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait