
Bekasi (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) kembali menegaskan komitmennya dalam pemenuhan hak perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) dan anak berhadapan dengan hukum (ABH) melalui tugas pemantauan persidangan. Namun, kendala pemantauan perempuan dan anak berhadapan dengan hukum adalah sifat persidangan yang tertutup, sehingga KY perlu berkolaborasi dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk Direktorat Keluarga, Pengasuhan, Perempuan, dan Anak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas).
Kepala Biro Pengawasan Perilaku Hakim Mulyadi mengungkap, dari tahun ke tahun jumlah permohonan pemantauan persidangan perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum terus meningkat. Ia menyebut ada 43 perkara pada tahun 2022, 36 perkara pada tahun 2023, dan 43 perkara pada tahun 2024. Sementara Januari hingga Juni 2025 tercatat 42 perkara. Oleh karena itu, pemantauan persidangan perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum terus menjadi perhatian dan prioritas KY.
"Kasus perempuan dan anak seperti fenomena gunung es. Oleh karena itu, pemantauan persidangan perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum terus menjadi perhatian dan prioritas KY. Jadi, di mana pun ada isu terkait hal itu, KY akan turun ke lapangan menurunkan tim untuk memantau. Namun, persidangan kasus perempuan dan anak berlangsung tertutup, sehingga selain pihak berperkara tidak boleh masuk, hal itu menjadi tantangan bagi KY," ujar Mulyadi Kamis, (10/07/2025) di Bekasi, Jawa Barat.
Tantangan KY dalam menghadapi persidangan yang bersifat tertutup kemudian direspons positif oleh Pimpinan MA melalui surat balasan Ketua Kamar Pengawasan MA Nomor 7/TUAKA.WAS/PW1.4/II/2025. Pada prinsipnya, lanjut Mulyadi, Pimpinan MA tidak keberatan apabila KY melakukan pemantauan langsung di persidangan, baik yang secara terbuka maupun secara tertutup.
"KY mencoba terus agar dapat memantau secara langsung persidangan tertutup. Hal ini bertujuan untuk melihat apakah hakim sudah mengadili berdasarkan perspektif gender atau tidak. Kami juga berharap agar Bappenas dapat mendorong agar KY dan MA bisa duduk bersama untuk berdiskusi mengenai urgensi adanya Surat Edaran MA yang menjadi acuan bagi semua pengadilan untuk memberikan akses kepada KY melakukan pemantauan pada sidang tertutup," harap Mulyadi.
Merespons hal itu, Direktur Keluarga, Pengasuhan, Perempuan, dan Anak Bappenas Qurata Ayun berpandangan bahwa persidangan tertutup ini memiliki tinjauan positif dan negatifnya. Namun, Qurata menyoroti salah satu dampak negatif yang perlu jadi perhatian bersama terkait potensi bias putusan.
"Kami yakin beberapa hal yang kurang pasti sudah menjadi area yang dipantau oleh KY, terutama berkaitan dengan bias putusan," jelas Qurata.
Qurata juga bersedia membuka ruang koordinasi bersama untuk saling bersinergi dalam menjawab tantangan yang masih dihadapi masyarakat sipil, khususnya bagi pendamping korban perempuan dan anak berhadapan dengan hukum, termasuk KY.
"Hal yang berkaitan dengan kesulitan tadi, kami akan komunikasikan dengan rekan-rekan di Direktorat Hukum dan Regulasi Bappenas. Dengan pengawalan dari mereka secara substansi, karena MA juga ada dalam lingkupnya, mungkin nantinya secara sinerginya bisa lebih terbangun," harap Qurata.
Sebagai informasi, pemantauan persidangan yang merupakan salah satu tugas KY ini tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029. KY berperan dalam salah satu Asta Cita pada Prioritas Nasional 7, yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, narkoba, judi, dan penyelundupan. (KY/Halimatu/Festy)