Semarang (Komisi Yudisial) – Peradilan sering disebut sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum karena menjadi harapan yang paling terakhir bagi pencari keadilan. Namun, benteng tersebut kadang diterobos dengan kepentingan pribadi dari oknum aparat penegak hukum.
“Karena kurangnya kesadaran hukum serta lemahnya sistem protokol persidangan dan keamanan, maka muncul perbuatan merendahkan kehormatan hakim,” beber AKBP H Sugeng Tiyarto, selaku Kabag Wassidik Dit Reskrimum Polda Jawa Tengah.
Ada kasus di mana hakim ditusuk di pengadilan, misalnya. Ini menunjukkan bahwa protokol keamanan di pengadilan kurang. Bahwa dimungkinkan terjadi hal yang tidak diinginkan, terutama oleh “pendukung” pihak yang tidak puas.
“Keberadaan protokol keamanan penting sebagai antisipasi. Protokol keamanan di pengadilan sering diabaikan,” ungkap Sugeng.
Dalam melakukan pengamanan peradilan sudah ada ada SOP dan pihak kepolisian sudah siap melakukan respons. Namun, antara pengadilan dan kepolisian harus ada komunikasi yang terarah, terutama untuk menentukan siapa pihak yang sedang berperkara yang nantinya menentukan jumlah kapasitas pengamanan. Dalam SOP sudah diatur, dari tahap awal sampai yang terakhir hingga mekanismenya, misalnya sampai tindakan penegakan hukum.
“Dalam memprediksi kapasitas “tantangan” seringkali terdapat peluang kesalahan penilaian, misalnya jumlah massa yang datang 2.000 orang, tetapi pengamanannya hanya 2 orang. Ini menunjukkan kurangnya protokol persidangan dan keamanan dalam persidangannya yang kurang baik,” ujar Sugeng.
Tugas dari kepolisian adalah melakukan upaya pencegahan dan pengamanan supaya dapat menimalisir perbuatan melanggar hukum dalam persidangan. Kepolisian dalam melakukan kegiatan kemanan sudah ada pengaturannya. Pekerjaan rumahnya ialah diharapkan protokol keamanan di persidangan yang perlu diperbaiki.
“Dalam pelaksanaan pengamanan, tolong protokol diperkuat dan diterapkan. Insya Allah, nanti akan aman,” pungkas Sugeng. (KY/Noer/Festy)