Bandung (Komisi Yudisial) - Media Gathering 2025 bertajuk "Refleksi Dua Dekade Menjaga dan Menegakkan Integritas Hakim” di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) menjadi momen refleksi dua dekade usia KY dalam menghadapi dinamika hubungan Mahkamah Agung (MA) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tantangan menjalankan kewenangan, hingga kemungkinan intervensi.
Anggota KY dan Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata mengungkap tak mudah menjalankan kewenangan yang diamanatkan konstitusi. Bahkan, tercatat sudah ada 12 kali uji materi terhadap UU KY sehingga menyebabkan adanya pembatasan kewenangan.
Ia juga mengakui, hubungan MA dan KY memang pasang surut. Ada kalanya teramat panas, tetapi kini hubungannnya semakin konstruktif. Sinergi dan pola komunikasi antarlembaga dinilai lebih efektif.
"Dinamikanya beragam ya. Ada yang kemudian teman-teman di periode yang kedua dan ketiga? kalau enggak salah ya, ada kriminalisasi. Namun, periode keempat ini, alhamdulillah, rombongan kami ini sampai akhir, husnul khotimah,” kata Mukti Fajar sambil berkelakar.
Ia juga mengungkap pertemuan terakhir Pimpinan KY dan Pimpinan MA telah menyampaikan tiga rekomendasi terkait pemantauan persidangan tertutup, kebijakan kesejahteraan hakim Indonesia, dan kebijakan keamanan hakim dan pengadilan.
"Ketiga rekomendasi tersebut dinilai penting untuk memperkuat sistem pengawasan, perlindungan, serta peningkatan profesionalitas di lingkungan peradilan," jelas Mukti Fajar.
Dalam kesempatan sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti, KY yang dilahirkan sebagai "anak kandung reformasi" memiliki beban berat sebagai lembaga pengawas peradilan, sesuai ekspektasi publik. Susi mengutip pernyataan Bagir Manan bahwa di masa-masa awal “reformasi”, ada dua persoalan pokok yang muncul mengenai pengadilan yaitu independens dan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Sayangnya, lembaga produk reformasi itu justru lahir dari desain konstitusional yang belum tuntas. Proses perubahan yang seakan-akan memperlihatkan
”patch-work” menghasilkan ketiadaan design konstitusi yang komprehensif yang berakibat pada lemahnya design KY sebagai sebuah lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, bahkanuntuk desain dasar kelembagaan," ujar Susi.
Ia mengakui, lembaga semacam KY bukanlah obat yang memberi solusi atas persoalan-persoalan yang ada. Oleh karena itu, ia memberikan sejumlah harapan perbaikan ke depan. Yaitu: penguatan kapasitas kelembagaan, meningkatkan kerjasama dengan lembaga peradilan, melindungi dari pengaruh politik, dan kerja sama dengan masyarakat sipil.
Dari perspektif media, Ketua Umum Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) Irfan Kamil menyebut KY sebagai simbol keterlibatan publik dalam menjaga marwah peradilan. Ia menjelaskan bahwa media mencatat tiga fase besar perjalanan KY, mulai dari fase pengenalan, dinamika hubungan kelembagaan, hingga fase evaluatif yang menilai transparansi dan efektivitas pengawasan etik.
"Media memahami ada batas kerahasiaan, tetapi publik ingin tahu langkah-langkah KY dalam menangani laporan. KY tak harus membuka seluruh detail, tapi bisa menjelaskan alur atau tahapan agar masyarakat percaya bahwa proses berjalan," jelas Kamil.
Mewakili jurnalis, ia menyampaikan sejumlah harapan, seperti KY lebih terbuka pada pemeriksaan etik hakim dan menjalin komunikasi yang lebih rutin dan dialogis dangan media, bukan hanya saat momentum besar saja. (KY/Feyza/Festy)
English
Bahasa