Jakarta (Komisi Yudisial) – Budaya malu dapat dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan etika saat menghadapi kegagalan menjalankan sebuah profesi. Budaya malu seharusnya sudah menjadi semacam kebiasaan masyarakat, tetapi realitanya sulit mengembangkan budaya malu di Indonesia.
"Jujur sulit mengembangkan budaya malu (di Indonesia), karena ini relasi yang terbentuk dari hierarki. Rasa malu tidak akan muncul mana kala hierarki atasan menjadi lebih kuat daripada kesadaran pribadi," ujar Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari saat menjadi narasumber Seminar Nasional Etika Publik bertema “Kompas Etika Publik: Antara Idealita dan Realitas Moralitas Demokrasi”, Selasa (4/11/2025) di Auditorium KY, Jakarta.
Lanjut Aidul, budaya malu merupakan konsep yang jamak ditemukan dalam masyarakat Asia Timur, sementara negara barat menggunakan konsep rasionalitas. "Sedangkan Indonesia menggunakan konsep dosa yang bersumber dari agama Abrahamik," ungkap Aidul.
Aidul menyinggung disertasi di UMS yang melakukan penelitian terhadap perampasan aset. Semakin tinggi seseorang yang dianggap religius atau beragama, maka semakin sulit merampas asenya. Oknum tersebut akan merekonstrusi dirinya dari sudut sosial yang sebagai orang yang suci, sehingga masyarakat menolak mendukung perampasan aset terhadap oknum tersebut. Menurutnya, rasa malu dianggap mudah diselesaikan dengan tobat dan juga dilindungi alasan religius.
“Misalnya ada pemimpin agama yang melakukan korupsi, maka pendukungnya menolak jika asetnya dirampas. Jadi, perampasan aset tidak mudah seperti yang dikoar-koarkan oleh publik, karena faktor budaya,” jelas Aidul.
Aidul lebih jauh menjelaskan, dalam tradisi di Cina, ada dua bentuk pengakuan hukum, yaitu "Li" adalah kesopanan dan "fa" adalah paksaan. Hukum bersumber dari moralitas dan undang-undang. Pertama kali dilakukan melalui li, tetapi karena kesadaran adalah hal berat sehingga harus dikombinasikan dengan fa berupa mengedukasi dengan paksaan.
“Di Malayasia dan Singapura, hukum itu sederhana. Hukum adalah perintah yang diberikan sanksi. Problemnya kita, keteladanan tidak ada, sanksi tidak berjalan,” pungkas Aidul. (KY/Noer/Festy)
English
Bahasa