
Denpasar (Komisi Yudisial) – Hasil survei sering kali menunjukkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia cenderung turun. Lembaga peradilan masih menghadapi tantangan menurunnya tingkat kepercayaan publik akibat praktik korupsi oleh sejumlah oknum hakim dan pejabat pengadilan. Hal ini tentu menjadi perhatian bagi Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum.
"Jangan-jangan public trust terhadap lembaga peradilan rendah karena hukum nasional tidak mampu menyerap hukum adat atau nilai yang hidup dalam masyarakat," ungkap Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai saat memberikan keynote speech di hadapan ratusan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Bali dalam Seminar Nasional dan Call of Paper dengan tema “Membentuk Model Ideal Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional”, Kamis (9/10/2025).
Amzulian melanjutkan, ketidakpercayaan publik ini juga melahirkan sejumlah dampak. Terutama terkait putusan hakim. "Dampaknya, apapun putusan hakim, maka masyarakat terus berprasangka. Kedua, apapun upaya perbaikan juga tidak mampu meyakinkan publik,” beber Amzulian.
Lanjut Amzulian, hukum adat sendiri sudah terpinggirkan sejak lama. Pentingnya seminar ini, karena pemerintah butuh sumbangsih pemikiran untuk hukum adat. Hukum adat adalah kristalisasi dari masyarakat, hukum asli Indonesia.
“Kalau lihat hukum nasional kita, dari deklarasi International Labour Organization (ILO) dan UUD 1945, maka hak adat diakui dan dilindungi. Namun banyak terjadi, tidak hanya di satu daerah, hak adat dikriminalisasi,” ungkap Amzulian.
Pentingnya kepastian hukum adat bertujuan menjaga keharmonisan sosial. Selain itu, penting juga penghormatan terhadap apa yang berlaku di adat dan masyarakat. Namun, lanjut Amzulian, saat ini hal tersebut belum dirasakan. Ia memberi contoh. Misalnya kasus tanah adat yang digusur atas nama hukum nasional.
"Adil bagi hukum nasional, belum tentu adil bagi masyarakat adat. Aparat penegak hukum telah tertanam tatanan hukum barat, bukan hukum adat. Bersifat formal diselesaikan lah di pengadilan, hasilnya vonis," tambah Amzulian.
Ia mengingatkan, mungkin masyarakat tidak mampu melawan aparat sehingga menyerahkan tanahnya. Namun kepercayaan masyarakat hilang dan dipendam, sehingga suatu saat bisa meledak.
“Misalnya pada kasus Rempang, akibat penolakan warga Pulau Rempang terhadap proyek strategis nasional Rempang Eco City. Faktor konflik karena ketidakjelasan aturan pertanahan,” ujar Amzulian.
Tantangan hukum adat saat ini adalah tradisi lokal sudah lama terpinggirkan. Bahkan, hukum adat terasa asing. Belum lagi jika pemerintah sering menyatakan bila masyarakat adat di sebuah daerah tidak ada, padahl penduduk setempat menganggapnya ada. Ironisnya lagi banyak fakultas hukum di Indonesia menghapus mata kuliah hukum adat.
"Tantangan seperti itu, jika dibuat solusinya di atas kertas sebenarnya tidak sulit. Sepanjang pemerintah dan DPR sepakat, maka memungkinkan terjadi. Tantangan terberat adalah bagaimana memperkenalkan hukum adat itu sendiri. Mungkin tidak terjadi di Bali karena kuat mempertahankan, tetapi di daerah lain, sudah terdengar sayup-sayup,” tutup Amzulian. (KY/Noer/Festy)