
Jakarta (Komisi Yudisial) - Kesejahteraan hakim menjadi salah satu faktor kunci yang memengaruhi integritas dan independensi hakim. Oleh karenanya, negara wajib menjamin dan mengakui hakim sebagai pejabat negara dan memenuhi hak dan fasilitasnya, termasuk kewajibannya.
“Negara harus menjamin dan mengakui hakim sebagai pejabat negara. Di sisi lain, negara memang sudah mulai mengakui bahwa hakim tidak hanya sekadar PNS, tetapi memiliki unsur sebagai pejabat negara. Akan tetapi, belum ada undang-undang jabatan hakim yang merumuskan apa makna pejabat negara beserta hak dan fasilitasnya beserta kewajibannya," ujar Anggota Komisi Yudisial (KY) selaku Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim Sukma Violetta dalam International Webinar: Status and Welfare of Judges: a Comparative Study of Indonesia, Italy, and Other Countries, yang digelar secara daring pada Selasa, (30/9/2025).
Perjalanan untuk mempertegas status dan kesejahteraan hakim dimulai pada tahun 2012 melalui PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di Bawah Mahkamah Agung (MA) dengan fokus untuk kenaikan tunjangan jabatan dan pemberian tunjangan kemahalan. Komitmen mengenai hak kesejahteraan hakim masih terus berlanjut hingga saat ini dengan berkolaborasi bersama MA.
"Dengan begitu, para hakim dapat bekerja dengan tenang, jauh dari teror dan intervensi, bahkan bisa mengacuhkan godaan pemberian dari pihak manapun," lanjut Sukma.
Sukma mengungkap, KY telah melakukan survei kesejahteraan hakim di Indonesia yang melibatkan 567 orang hakim tingkat pertama hingga tingkat banding di seluruh lingkungan peradilan Indonesia. Survei meliputi finansial dan ekonomi, profesional, psikologis, sosial-keluarga, serta moral dan integritas. Hasil survei ini sebagai basis data penyusunan policy paper.
“Kami sering mendengar keluhan dari para hakim tentang kesejahteraan hakim sehingga KY terdorong untuk mengambil langkah konkret mengatasinya. Saat ini belum tersedia konsep yang jelas dan komprehensif mengenai kesejahteraan hakim yang ideal seperti apa. Oleh karena itu, kami mengadakan survei untuk mengetahui dilapangan bagaimana pandangan hakim sebagai dasar _policy paper_ yang disusun KY," jelas Sukma.
Lanjut Sukma, policy paper ini diharapkan tidak hanya dapat dimanfaatkan KY sebagai bahan pijakan dalam menjalankan tugas peningkatan kesejahteraan hakim, tetapi dapat digunakan pemegang kepentingan lain seperti pemerintah, DPR, dan MA.
Temuan dan Analisis Survei
Berdasarkan survei terkait kecukupan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup yang layak untuk hakim dan keluarga, sebesar 50,57% mengungkap penghasilan hakim tidak mencukupi, sedangkan 49,43% mengatakan penghasilan sudah cukup memadai.
"Jadi selisihnya hanya sekitar 1%. Analisis kami melihat bahwa dari temuan survei ini respons hakim terbelah dan tidak ada mayoritas yang kuat sehingga kondisi kesejahteraan finansial hakim masih bervariasi. Kemungkinan ini dipengaruhi oleh faktor lokasi penugasan,” ungkap Sukma.
Terkait kecukupan jaminan kesehatan dan keamanan bagi hakim dan keluarganya, sebesar 53,93% tidak memadai, 29,85% sangat tidak memadai, dan 16,31% sudah memadai. Temuan ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kebutuhan perlindungan dan fasilitas yang disediakan.
"Hal ini dapat berdampak pada rasa aman, kesehatan fisik, serta psikologis responden. Implikasi jika tidak diperbaiki, maka memengaruhi motivasi kerja, loyalitas, dan kesejahteraan jangka panjang, terutama bagi mereka yang bertugas di wilayah dengan risiko tinggi atau fasilitas kesehatan terbatas," tambah Sukma.
Terkait tunjangan dan fasilitas tambahan, sebesar 78,8% menjawab tidak memadai sehingga mengindikasikan ada ya kesenjangan antara kebutuhan tugas hakim dan fasilitas yang disediakan, seperti rumah dinas, kendaraan dinas, atau fasilitas pendukung lainnya. Untuk aspek pembinaan karir, sebesar 38,9% menyatakan belum sesuai dengan meritokrasi dan 10% berpendapat telah dijalankan sesuai dengan meritokrasi .
Temuan survei lain yang juga penting dan baru dalam peta pembahasan kesejahteraan hakim yang belum banyak terpotret adalah hasil survei pada dimensi psikologis dan emosional. Sebesar 78,43% mengatakan setuju dan sangat setuju bahwa hakim membutuhkan dukungan psikologis dan konseling, hanya 11, 57% yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju.
"Kebutuhan akan dukungan psikologis ini sebenarnya sudah disadari KY. Oleh karena itu, KY sudah memulai menyusun pelatihan yang sekaligus mengakomodir kebutuhan tersebut," lanjut Sukma.
Ia mengungkap bahwa KY sudah tahun kedua memiliki pelatihan yang berisi penyebab dan cara mengatasi stres dalam penanganan perkara. KY juga menyediakan semacam konseling, bekerja sama asosiasi psikologi forensik, "sehingga ada beberapa hakim yang telah berkonsultasi dengan psikolog tersebut," pungkas Sukma mengakhiri sesi pemaparannya. (KY/Halima-Festy)