Susun Policy Brief Pemantauan Persidangan Tertutup, KY Terus Jaring Partisipasi Publik
Komisi Yudisial (KY) terus menjaring aspirasi masyarakat terkait penyusunan policy brief pengawasan preventif melelui pemantauan persidangan tertutup perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.

Surabaya (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) terus menjaring aspirasi masyarakat terkait penyusunan policy brief pengawasan preventif melelui pemantauan persidangan tertutup perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum. Masukan dari akademisi, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya di wilayah Penghubung KY Jawa Timur nantinya akan disampaikan ke Mahkamah Agung (MA) sebagai rekomendasi perbaikan persidangan tertutup perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.

"Pemantauan terhadap perkara perempuan, anak, dan disabilitas sebenarnya telah menjadi prioritas kelembagaan sejak tahun 2022. Isu ini diambil karena berdasarkan data dari Komnas Pempuan, KPAI, dan KemenPPPA, kasusnya terbilang sangat tinggi. KY hadir melaksanakan pemantaun persidangan untuk menjaga proses persidangan tetap berperspektif gender. Jangan sampaiada  hak-hak perempuan yang terlanggar. Pemantauan persidangan ini juga bertujuan sebagai langkah pencegahan agar hakim tidak melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atau KEPPH," ungkap Kepala Bagian Pemantauan Perilaku Hakim KY Niniek Ariyani, Kamis (11/9/2025) di Kantor Penghubung KY Jawa Timur, Surabaya. 

Dalam kesempatan sama, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Eko Riyadi yang bertindak sebagai fasilitator menjelaskan, diskusi terbatas ini sebagai dasar penyusunan policy brief pemantauan persidangan tertutup perkara perempuan dan anak berhadapan dengan  hukum. Nantinya policy brief ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh MA sebagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) agar secara nasional penerimaan pengadilan dalam pemantauan persidangan tertutup perkara perempuan dan anak relatif seragam. 

"KY memantik diskusi dalam tiga kerangka pertanyaan penting sebagai bahan naskah kebijakan, yaitu: apa praktik buruk atau tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan persidangan tertutup, apa praktik baik yang telah terjadi dan perlu dipertahankan dalam persidangan tertutup, dan bagaimana mekanisme kolaborasi terbaik antara KY dan masyrakat sipil dalam melaksanakan pemantauan persidangan tertutup perkara perempuan dan anak," jelas Eko. 

Menurutnya, pelanggaran KEPPH dan hukum acara berpotensi lebih besar pada sidang tertutup daripada sidang terbuka.

Untuk kasus-kasus sidang terbuka pasti hakim akan lebih aware, tetapi dalam kasus-kasus tertutup mungkin saja hakim tidak terlalu aware terhadap standar etik ataupun standar acara di persidangan. 

"Sidang tertutup jauh lebih penting untuk dipantau karena para pihak merasa tidak ada yang mengawasi, kadang gesture dan ekspresi lisannya bisa sangat menggangu korban," tambah Eko.

Dari diskusi tersebut, ada catatan penting di mana pendamping sebaiknya harus diberi akses. Hal ini karena kepentingan para korban tidak terwakili oleh jaksa. 

Kedua, hakim perempuan pada praktiknya lebih berperspektif gender dan humanis dar pada dari hakim laki-laki saat menyidangkan perkara perempuan dan anak. 

"Hakim saat bersidang jauh lebih formil, dan hati-hati apabila ada KY yang melaksanakan pemantauan persidngan," pungkas Eko. (KY/Halimatu/Festy)


Berita Terkait