CHA Alimin Ribut Sujono: KUHP Baru Memungkinkan Terpidana Mati  Mendapatkan Keringanan Menjadi Penjara Seumur Hidup
Memasuki hari pertama wawancara terbuka calon hakim agung, Rabu (06/08/2025), menghadirkan calon dari Kamar Pidana, yaitu Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin Alimin Ribut Sujono.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Memasuki hari pertama wawancara terbuka calon hakim agung, Rabu (06/08/2025), menghadirkan calon dari Kamar Pidana, yaitu Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin Alimin Ribut Sujono. 

Calon Alimin Ribut Sujono adalah salah satu hakim anggota yang menjatuhkan vonis pidana hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Salah satu panelis kemudian menanyakan pandangannya soal pidana  mati.

Ia mengaku sudah dua kali menjatuhkan pidana mati. Pertama dalam kasus narkotika dengan terpidana warga Pakistan yang mengendalikan dan hendak memasukan 10 ton narkorba ke Indonesia. Kedua, perkara kasus Ferdy Sambo, meskipun Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis mati Ferdy Sambo menjadi seumur hidup.

Menurutnya, pidana mati masih diakui di Indonesia, dan jalan tengah yang diambil dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru adalah hukuman mati bisa berubah menjadi pidana seumur hidup dengan kondisi tertentu. 

“Apabila yang bersangkutan dalam 10 tahun menjalani hukuman dan berkelakuan baik, maka bisa berubah menjadi pidana seumur hidup dengan pertimbangan MA, yang diberikan kepada presiden,” jelas Alimin. 

Alimin juga ditanyakan mengenai pengadilan in absentia, proses pengadilan yang berlangsung tanpa kehadiran terdakwa atau tergugat karena tidak diketahui keberadaannya. 

Jika dari dari bukti-bukti yang ada penyidik menemukan perbuatan pidana, maka perkara dapat dilimpahkan ke pengadilan, contoh kasus pidana korupsi. Dalam hukum materiil, lanjut Alimin, disebutkan adanya pemeriksaan terhadap tersangka. Mahkamah Konstitusi (MK) juga berpendapat demikian, sehingga hal inilah yang membuat kasus pelaku yang buron tidak dilanjutkan atau tidak disidangkan hingga tersangka tertangkap.

“Seseorang ditersangkakan jika setidaknya pernah didengar sekali. Ini mungkin yang jadi alasan KPK tidak menetapkan (perkara) in absentia,” jelas Alimin.

Ia juga ditanya soal tekanan yang dihadapi oleh seorang hakim. Sebagai hakim yang pernah bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan menangani kasus _high profile_, maka tekanan selalu pasti ada datang dari manapun cara. 

“Namun, tekanan yang paling berat setelah saya renungkan adalah memutus perkara itu antara keadilan atau kepastian. Harus berpikir dalam,” pungkas Alimin. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait