Banjarmasin (Komisi Yudisial) - Dekan Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin Jalaluddin menyampaikan, bahwa eksistensi jalur nonkarier dan ad hoc Tipikor dalam mewujudkan peradilan yang agung, beranjak dari ketentuan Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang juga merupakan amanah reformasi. Urgensi jalur nonkarier dan ad hoc Tipikor dapat dilihat dari berbagai hal.
Pertama merupakan amanah konstitusi untuk mewujudkan hakim agung yang punya integritas, mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum tertentu. Kedua ketersambungan batiniah vonis yang dijatuhkan oleh hakim agung non karier dengan rasa keadilan masyarakat. Ketiga, putusan MA yang bersifat yudex yuris idealnya tidak hanya bertumpu pada norma atau kaidah hukum, tetapi memerlukan kemapanan dalam membuat putusan yang berkualitas melalui landasan teori dalam putusan MA (putusan yang memuat keadilan yuridis, sosiologis, dan filosofis). Keempat, ketegasan vonis yang dijatuhkan berimplikasi kepada penurunan perkara yang sampai ke Mahkamah Agung (MA). Kelima, memberikan rasa optimis kepada masyarakat akan adanya penegakkan hukum yang berkeadilan di dunia peradilan kita. Terakhir membantu penegakan hukum di bidang tertentu sesuai keahliannya. Hakim non karier bisa berasal dari advokat, jaksa, notaris, dan akademisi bidang hukum tertentu dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan keterampilan bidang hukum tertentu sesuai kepakarannya, ditopang integritas yang tinggi untuk menjamin kredidibilitas dan kehormatan hakim MA.
“Istilah hakim karier dan non karier dalam UU 3/2009 hanya digunakan dalam konteks calon hakim agung (CHA) . Setelah CHA diangkat menjadi hakim agung, tidak lagi ada perbedaan kedudukan antara hakim agung yang berasal dari dalam lingkungan badan peradilan (jalur hakim karier), maupun yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan (jalur non karier),” jelas Jalaluddin.
Jika sejak Indonesia merdeka hingga keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1985, hakim agung hanya berasal dari kalangan hakim karier yang notabene adalah dari internal badan peradilan itu sendiri. Maka demi kemajuan dan perbaikan sumber daya manusia yang memiliki kualitas dan integritas, sangat dibutuhkan pula hakim dengan keahlian khusus dan syarat-syarat tertentu untuk ikut mengubah wajah peradilan yang lebih fair dalam menjawab tantangan dan permasalahan hukum yang semakin kompleks.
“Hakim non karier dan hakim ad hoc Tipikor sesuai dengan kepakaran ilmu hukum tertentu yang dimilikinya, dapat membantu pembaharuan hukum tertentu dalam putusan MA. Keberadaan hakim agung non karier dapat memperkaya khazanah intelektualitas, moralitas, dan epistimologis hukum dalam putusan MA,” ujar Jalaluddin.
MA terus berupaya membangun citra positif peradilan melalui berbagai program namun kenyataannya, berdasarkan hasil Organizational Diagnostic Assessment (ODA) pada Tahun 2009 dengan menggunakan instrumen Court of Excellence menunjukan bahwa secara umum lembaga peradilan Indonesia baru mencapai kurang dari 50% untuk mewujudkan sebuah Court of Excellence.
“Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara. Hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat,” pungkas Jalaluddin. (KY/Noer/Festy)