Diskusi “Upaya Pencegahan dan Penegakan Hukum terhadap Pelaku Anarkis di Persidangan dan Pengadilan” di Auditorium KY, Jakarta, Kamis (28/11).
Jakarta (Komisi Yudisial) – Ada 3 penyebab terjadinya contempt of court di Pengadilan yaitu ketidak puasan terhadap putusan, ketidak puasan terhadap layanan pengadilan, dan yang terakhir ketidak puasan terhadap sikap petugas.
”Dimana kesemuanya itu dapat mengakibatkan Pengadilan menderita kerugian baik material dan immaterial. Selain itu juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, menurunkan kewibawaan pengadilan, dan pengadilan dianggap bukan tempat yang aman,” ujar Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Gatot Supramono dalam diskusi “Upaya Pencegahan dan Penegakan Hukum terhadap Pelaku Anarkis di Persidangan dan Pengadilan” di Auditorium KY, Jakarta, Kamis (28/11).
Menurut Gatot, contempt of court berawal dari Common Law System yang awalnya sebenarnya lebih bersifat ke contempt of the king. Karena dulu raja adalah sebagai sumber hukum.
“Dalam konteks keindonesiaan sebenarnya aturan-aturan mengenai contempt of court diatur dalam KUHP Pasal 207, 217 s.d. 224 secara spesifik misalnya dalam UU tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21, 22 yang mengatur mengenai obstruction of justice,” jelas Gatot.
Menurut Koordinator Bidang Pidum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Abdul Basir, penyebab internal terjadinya contempt of court yaitu unprofressional conduct. Ada beberapa Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Penyidik, Panitera, Lawyer, yang kemudian ditangkap dan diproses secara pidana.
Hal ini sangat mempengaruhi public trust karena ternyata banyak faktor dari internal badan peradilan itu sendiri tetapi ada juga faktor eksternal yaitu kurangnya pemahaman masyarakat tentang peraturan perundang-undangan.
“Untuk mencegah semua itu harus ada peningkatan profesionalisme dan integritas aparatur penegak hukum itu sendiri dan penyederhanaan design system peradilan pidana kita dengan mengganti atau merevisi hukum acara pidana,” Abdul Basir.
Sementara itu, Kabag Dalops Biro Ops. Kepolisian Daerah Metro Jaya Appolo Sinambela mengatakan, diperlukan juga sinergitas dengan aparat penegak hukum dalam menciptakan sistem pengamanan diruang persidangan.
Menurutnya, Kapolri telah mengatur bentuk pengamanan apa saja yang dapat diberikan. Kerjasama yang sudah terjalin adalah dalam hal pengawalan tahanan, dari rutan ke pengadilan dan sebaliknya. Di semua daerah kerjasama itu sudah dilakukan tetapi belum ada bentuk pengamanan diruang sidang.
Sampai saat ini belum terlihat satu perangkat hukum yang bisa dijadikan sebagai pegangan, tentunya antara polisi dengan jaksa dengan pihak pengadilan untuk bagaimana sistem pengamanan yang baku diruang sidang.
“Sebenarnya untuk kepolisian sendiri, dalam kasus-kasus yang besar atau yang mendapat perhatian publik, dalam setiap pelaksanaan sidang, polisi sudah pasti membuat rencana pengamanan, pengarahan kekuatan sampai cara-cara bertindak, bagaimana mengamankan hakim bila terjadi kerusuhan diruang sidang,” ungkapnya. (KY/Priskilla/Jaya)