Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisial Sunarto dalam diskusi Eksaminasi Putusan dalam rangka Peningkatan Kapasitas Hakim untuk Mewujudkan Peradilan Bersih, Rabu (11/09) di Auditorium KY, Jakarta.
Jakarta (Komisi Yudisial) – “Saya kurang setuju dengan istilah eksaminasi putusan hakim, harusnya lebih tepat disebut anotasi. Sebagai eksaminasi, ranahnya kewenangan Mahkamah Agung (MA)".
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisial Sunarto dalam diskusi Eksaminasi Putusan dalam rangka Peningkatan Kapasitas Hakim untuk Mewujudkan Peradilan Bersih, Rabu (11/09) di Auditorium KY, Jakarta.
Menurut Sunarto, eksaminasi jika dihubungkan dengan putusan ,maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan hakim. Eksaminasi putusan dapat dilakukan melalui upaya hukum antara lain: banding, kasasi dan peninjauan kembali.
“Putusan Pengadilan tingkat pertama (judex facti) dieksaminasi oleh putusan pengadilan tingkat banding melalui upaya hukum yang hierarkis. Demikian juga, putusan pengadilan tingkat banding (judex facti) dieksaminasi oleh putusan pengadilan kasasi (judex juris) melalui upaya hukum yang hierarkis,” jelas Sunarto.
Eksaminasi melalui upaya hukum sebagaimana disebutkan sebelumnya , merupakan bagian dari proses penilaian untuk promosi. Hakim yang akan dipromosikan menjadi calon pimpinan pengadilan harus lulus dalam fit and proper test dengan salah satu materi ujian penguasaan bidang teknis yudisial. Seperti dalam proses rekrutmen hakim agung di KY, hakim yang akan dipromosikan juga diperiksa putusannya.
“Salah ketik dalam putusan sering terjadi. Tapi putusan tersebut tidak bisa dicabut, tapi bisa direvisi di tingkat upaya hukum. Tapi sering tidak dilakukan oleh para pihak, apalagi jika menang. Begitu kalah baru dicari-cari kesalahannya dan dilaporkan ke KY. Oleh karena itu, meskipun rekomendasi KY tidak disetujui oleh MA dengan alasan teknis yudisial, tapi itu jadi bahan masukan untuk promosi dan mutasi,” beber Sunarto.
Putusan pengadilan dapat dikaji secara ilmiah dalam beberapa jurnal ilmiah seperti Jurnal Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Jurnal Konstitusi , dan Jurnal Yudisial. Putusan pengadilan dijadikan objek penelitian dalam jurnal tersebut. Kajian terhadap putusan digunakan untuk kemanfaatan yang lebih luas. Bagi MA, eksaminasi atau anotasi tidak masalah dilakukan, selama dihubungkan dengan putusan. Selain itu, eksaminasi harus dilakukan saat telah memiliki putusan hukum yang tetap, karena jika masih dalam proses khawatirnya akan mempengaruhi proses upaya hukum.
“Eksaminasi harus dilakukan dari sudut pandang hakim, sebab selama ini eksaminasi sering dilakukan hanya melihat dari kaidah hukum, tanpa melihat fakta dalam proses pemeriksaan yang dilakukan di dalam pengadilan. Hal ini menjadikan eksaminasi putusan tersebut menjadi bias,” ungkap Sunarto.
Selain Sunarto, dalam diskusi yang dilakukan di Auditorium KY tersebut menghadirkan narasumber lain yakni Sumartoyo (Anggota KY), Johanes Gunawan (Guru Besar Universitas Parahyangan), M. Busyro Muqoddas (mantan Ketua KY dan KPK), dengan Shidarta (dosen Binus) sebagai moderator. (KY/Noer/Festy)