Para pakar hukum sepakat bahwa konsep ini adalah upaya mewujudkan akuntabilitas publik, tanpa menggangu independensi hakim.
Jakarta (Komisi Yudisial) - Konsep shared responsibility dalam pengelolaan manajemen hakim, termasuk rekrutmen hakim menjadi poin penting dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Dalam diskusi media berjudul Shared Responsibility sebagai Wujud Akuntabilitas Publik pada Rekrutmen Hakim, para pakar hukum sepakat bahwa konsep ini adalah upaya mewujudkan akuntabilitas publik, tanpa menggangu independensi hakim.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, Selasa (11/4) di Restoran Tjikinii Lima, Jakarta Pusat, adalah praktisi hukum Chandra M. Hamzah, Guru Besar Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, Direktur Puskapsi Jember Bayu Dwi Anggono dan Direktur Eksekutif LeIP Astriyani.
Prof. Ningrum mempertanyakan mengapa harus ada resistensi terhadap konsep shared responsibility. Menurutnya, praktik shared responsibility adalah hal yang biasa dilakukan oleh banyak negara, seperti Perancis dan Jerman.
"Kenapa kita tidak mau belajar dari mereka?," tanya Prof. Ningrum.
Senada dengan Prof. Ningrum, praktisi hukum Chandra M. Hamzah juga menyoroti masalah rekrutmen hakim. Dalam proses rekrutmen, idealnya ada user dan panitia seleksi yang merupakan pihak eksternal.
"Karena hakim dididik untuk memeriksa dan memutus perkara, hakim tidak dididik untuk mengurusi sumber daya manusia dan keuangan," ungkap mantan Wakil Ketua KPK ini.
Dalam proses rekrutmen hakim, Chandra menyarankan KY mengambil peran dalam pengawasan para calon hakim. Ia melihat pendidikan calon hakim hanya menekankan pada teknis dan manajemen untuk menjadi seorang hakim.
"Padahal yang dibutuhkan dalam pendidikan calon hakim adalah integritas. Namun, mengapa integritas tidak dijadikan faktor dalam pendidikan hakim?," tanya Chandra Hamzah mengkritisi.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Puskapsi Jember Bayu Dwi Anggono melihat upaya KY dalam proses rekrutmen hakim ini bukan ingin untuk menambah kewenangan. Ia melihat permulaan ini karena ada masalah dalam proses tersebut. Oleh karena itu, ia melihat adanya urgensi shared responsibility dalam proses rekrutmen hakim.
"Saya juga melihat ada kecenderungan untuk membonsai kewenangan lembaga negara baru hasil produk reformasi, seperti yang terjadi pada KY," ungkap Bayu.
Ada tiga pola dalam membonsai kewenangan ini. Pertama, memperlemah pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang (UU). Kedua, Apabila diatur baik dalam UU, tapi dilakukan judicial review ke MK. Ketiga, tidak dilaksanakannya hasil rekomendasi.
"Sekarang kita mengalami darurat integritas hakim, karena peradilan adalah salah satu lembaga negara yang memiliki rapot merah terkait kinerjanya," tegas Bayu.
Lebih lanjut Bayu melihat penyebab masalah ini karena proses awal rekrutmen yang juga bermasalah.
"Ketentuan mengenai rekrutmen hakim dalam UUD 1945 itu adalah open legal policy. Jadi, menurut saya kurang tepat jika dalam putusan judicial review MK menyatakan bahwa berdasarkan UUD 1945 KY tidak memiliki wewenang untuk melakukan rekrutmen hakim bersama MA," urainya. (KY/Festy/Jaya)