KY Undang Empat Negara Bahas Teknis Yudisial dan Pelanggaran Perilaku
KY menggagas simposium internasional bertema The Line between Legal Error and Misconduct of Judges, Rabu-Kamis (9-10/11) di Auditorium KY, Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Istilah teknis yudisial dan pelanggaran perilaku hakim masih terus menjadi perbedatan antara Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA). Untuk mempersempit hal tersebut, KY menggagas simposium internasional bertema The Line between Legal Error and Misconduct of Judges, Rabu-Kamis (9-10/11) di Auditorium KY, Jakarta.
 
Hadir di hari pertama simposium internasional sebagai narasumber adalah Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Jaja Ahmad Jayus, President of The New South Wales Court of Appeal Margaret Beazley, Executive Director Alaska Commission on Judicial Conduct Marla N. Greenstein, Director of Arkansas Supreme Court Administrative Office J.D. Gingerich, dan Anggota The Conseil d’Etat France Julien Anfrus.
 
“Komisi Yudisial (KY) New South Wales memiliki dua fungsi signifikan, yakni lembaga pengawas dan lembaga pendidikan bagi para hakim. Jika ada laporan tentang hakim yang dianggap melakukan persidangan yang tidak adil dan melanggar kode etik hakim, maka kami akan menentukan apakah pelanggaran tersebut merupakan legal error atau misconduct,” ujar Margaret Beazley.
 
Dalam sistem peradilan di New South Wales, lanjut Margaret, tidak semua pelanggaran dilaporkan ke KY. Namun badan peradilan di atasnya  yang akan mengoreksi atau menegur hakim yang melakukan pelanggaran.
 
“Keuntungan signifikan apabila legal error dikoreksi oleh pengadilan tingkat banding, maka ia akan menghasilkan peradilan yang berkualitas. Jadi tidak semua laporan harus melalui KY,” ujar Beazley.
 
Sementara J.D. Gingerich menceritakan bahwa kekuasaan peradilan di Amerika sangat tergantung kepada kepercayaan publik. Peradilan membutuhkan kepercayaan publik, dan para hakim dengan kemandirian yang dimiliki paham betul bahwa kepercayaan publik diperlukan untuk kebaikan dan kewibawaan mereka sendiri.
 
“Lebih dari 90% laporan di KY ditolak dari awal, karena pengaduan tersebut dapat diselesaikan melalui tingkat banding. Terkait fakta hukum yang dapat diselesaikan di tingkat banding, hal tersebut bukan merupakan bagian dari misconduct,” jelas Gingerich.
 
Hanya laporan yang masuk yurisdiksi KY Arkansas dan merupakan pelanggaran berat di mana pelanggaran tersebut melanggar hak-hak dasar para pihak yang akan diproses oleh KY Arkansas.
 
Sementara di Prancis, Julien Anfruns menjabarkan bahwa pelanggaran perilaku hakim yang dianggap pelanggaran hukum acara dapat diupayakan banding. Upaya banding merupakan cara yang normal untuk mengoreksi kesalahan teknis yudisial. Mengenai penetapan yang sudah diintervensi, maka akan dikategorikan sebagai pelanggaran perilaku. Pengadilan Prancis mewajibkan untuk menggunakan hukum acara secara hati-hati, sehingga kemandirian hakim dibatasi oleh hukum yang berlaku.
 
“Yang harus dicatat, kemandirian hakim untuk menegakkan hukum, bukan untuk menyenangkan pemerintah, publik atau media,” tekan Julien.
 
Marla N. Greenstein menjabarkan bahwa KY Alaska terdiri dari tiga orang hakim, dengan masa dinas empat tahun dan dapat dipilih kembali. KY memberikan pelatihan-pelatihan, dan Anggota KY memberikan pendapat ahli kepada hakim-hakim. Hakim dapat menghubungi Anggota KY untuk mendapat masukan dan membantu meraka, karena mereka percaya kepada KY bukan hanya sekedar institusi komisi disiplin.
 
“Prinsipnya hakim harus mampu bertindak tanpa intervensi. Jangan sampai hakim melihat kode etik sebagai hal yang bertentangan terhadap kemandirian mereka sebagai hakim,” ungkap Marla. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait