
Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon Hakim Agung (CHA) ketiga yang diwawancara adalah Hakim Tinggi Yustisial Mahkamah Agung (MA) Avrits, Rabu (6/8/2025) di Auditorium KY, Jakarta. Salah seorang panelis bertanya terkait pelanggaran hak cipta oleh kafe atau restoran karena menggunakan musik tanpa membayar royalti.
Menurut calon, pemilik hak cipta sudah bekerja keras menghasilkan karya. Jika merasa tidak dihargai, lanjutnya, maka pemilik hak cipta dapat melaporkan perbuatan pelaku yang diduga melanggar hak cipta.
"Sesungguhnya tentang hak cipta, ada unsur pidana setelah kami melihat konstruksi hukum pidananya. Jika memang terjadi, dan bilamana terbukti setelah diperiksa di pengadilan, maka bisa dijatuhkan pidana,” jelas Alvrits.
Sebagai Hakim Tinggi Yustisial di MA, Alvrits menjelaskan mengenai tugasnya sebagai memilah permohonan peninjauan kembali (PK) yang masuk di MA. Pengajuan PK, berawal dari memori yang disampaikan dari pengadilan negeri (PN) pengaju. Kemudian diinput secara elektronik, dan dikirimkan bersama berkas perkara, termasuk lampiran bukti baru.
“PK harus sudah disidangkan di PN pengaju, apakah sudah memenuhi syarat formil dan materiil, lalu membuat berita acara pendapat, termasuk berita acara sidang PK,” ujar Alvrits.
Peran hakim pemilah PK, terlebih dahulu menentukan syarat formal PK, apakah memang layak untuk diajukan ke ke majelis hakim MA. Jika tidak memenuhi syarat formal, maka dikembalikan ke PN pengaju. Bila sudah memenuhi syarat formal, hakim pemilah akan menganalisis apakah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Putusan PK hakim harus melihat apakah PK diajukan sekali atau dua kali, agar tidak terjadi pengulangan PK.
“Apakah ada novum baru, apakah ada putusan yang saling bertentangan, apakah ada kekeliruan hakim, dari situ kami berangkat menentukan diajukan ke majelis atau tidak,” pungkas Alvrits. (KY/Noer/Festy)