Christina Natal Megawati Tobing menjadi peserta pertama yang menjalani seleksi wawancara calon hakim ad hoc Hubungan Industrial di Mahkamah Agung (MA), Rabu (19/10) di Auditorium Komisi Yudisial (KY),
Jakarta (Komisi Yudisial) – Christina Natal Megawati Tobing menjadi peserta pertama yang menjalani seleksi wawancara calon hakim ad hoc Hubungan Industrial di Mahkamah Agung (MA), Rabu (19/10) di Auditorium Komisi Yudisial (KY), Jakarta. Christina ditanya panelis soal pendapatnya terkait hakim ad hoc Hubungan Industrial sebagai perwakilan dari lembaga pengusul.
Dalam seleksi Christina menyatakan ketidaksetujuannya apabila disebut perwakilan. Baginya, setiap hakim harus memiliki independensi hakim yang merupakan kemerdekaan atau kebebasan hakim untuk melaksanakan tugas tanpa dipengaruhi pihak luar. Namun, hal itu juga harus disertai akuntabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Oleh karena itu saya tidak setuju hakim ad hoc Hubungan Indutrial disebut perwakilan dari salah satu pihak. Diusulkan iya, namun dalam proses persidangan ia harus memiliki sikap sendiri dan independen,” ujar Hakim ad hoc PHI Medan.
Christina juga mengakui Pengadilan Hubungan Industrial masih banyak kekurangan. Selain itu, banyak pula peraturan perundang-undangan yang masih overlapping dan tidak sinkron, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Kekosongan hukum itupun ada karena peraturan tidak lengkap, sehingga hakim perlu pengetahuan dan pengalaman untuk mengabstraksi tentang ketentuan UU maupun nilai yang hidup dalam masyarakat untuk mengatasi hal tersebut.
Lebih lanjut ia menegaskan pentingnya Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) untuk menjadi pegangan dan pedoman bagi para hakim untuk menjaga marwahnya.
“Saya juga setuju jika KY memiliki wewenang untuk eksekutorial, tidak sekadar rekomendasi. Selama terkait dengan perilaku murni, bukan teknis yudisial,” pungkas mantan Dosen Universitas Darma Agung ini. (KY/Noer/Festy)