
Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) mempunyai andil dalam pemenuhan hak perempuan dan anak berhadapan dengan hukum melalui tugas pengawasan preventif melalui pemantauan persidangan. Pengawasan preventif ini memiliki makna menjaga agar hakim tidak melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Namun, karena persidangan bersifat tertutup sehingga menjadi kendala melakukan pemantauan. Sukma menyampaikan, urgensi pemantauan persidangan pada kasus ini bukan hanya pada aspek KEPPH, tetapi juga memastikan tidak adanya diskriminasi dalam praktik peradilan di Indonesia.
“Pemantauan persidangan ini fungsi pencegahan, sehingga tidak masuk fungsi penegakan pengawasan hakim. Pintunya berbeda, sehingga perlakuan KY terhadap hasil dari pemantauan persidangan adalah dikumpulkan, dibuat narasi, dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dalam rangka perbaikan ke depannya. Tidak ada kaitannya dengan pengawasan hakim,” jelas Anggota KY Sukma Violetta saat menjadi narasumber dalam workshop “Membangun Kerangka Kebijakan Mahkamah Agung Melalui Penyusunan Policy Brief Pengawasan Preventif Persidangan yang Bersifat Tertutup” pada Selasa (8/10/2025) di Jakarta.
Alasan lain yang menjadikan pemantauan persidangan KY pada kasus perempuan dan anak menjadi relevan dan mendesak adalah pemantauan persidangan ini sejatinya adalah kebutuhan publik, sebab masih ditemukannya diskriminasi yang tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga pihak lain seperti advokat, jaksa dan lainnya yang perlu ditertibkan oleh hakim dalam persidangan.
“Jadi, potensi bahwa persidangan yang terkait penanganan kekerasan pada perempuan dengan segala bentuknya di pengadilan itu sangat rawan," jelas Sukma.
Sejak Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum ditetapkan agar persidangan yang tidak diskriminatif, lanjut Sukma, besar kemungkinan hakim lebih minim yang berlaku diskriminatif dibandingkan dengan advokat yang memang membela kliennnya, sehingga segala hal dilakukan termasuk menyudutkan korban.
"Hakim, menurut Perma tadi, wajib menegur sehingga tidak ada lagi yang menyudut perempuan dan anak," jelas Sukma.
Sukma mengungkap, KY telah menerima surat balasan dari Ketua Kamar Pengawasan MA Nomor 7/TUAKA.WAS/PW1.4/II/2025 yang berisi bahwa MA tidak keberatan apabila KY melakukan pemantauan langsung di persidangan, baik yang bersifat terbuka maupun tertutup. Namun, ia menyarankan agar perlunya penguatan dasar hukum pelaksanaan pematauan persidangan tertutup.
Merespons hal itu, Hakim Agung Nani Indrawati menegaskan tugas KY untuk memantau persidangan adalah final dan konstitusional. Meski begitu, Nani juga berharap adanya aturan atau payung hukum yang lebih jelas bagi hakim untuk mengizinkan KY melakukan pemantauan persidangan tertutup. Surat Tuakawas tidak cukup kuat sebagai payung hukum.
"Hakim mempertimbangkan tentang kerahasian proses sidang yang dilakukan secara tertutup, dan menghindari laporan pihak yang berperkara karena mengijinkan KY hadir dalam persidangan tertutup," jelas Nani.
Artinya, lanjut Nani, jika KY ada dalam ruang sidang tertutup melakukan pemantauan persidangan, maka sah-sah saja sepanjang ada payung hukumnya. Produk hukum tersebut sebaiknya berupa PERMA yang kedudukannya cukup kuat dan mengikat pihak ketiga. Payung hukum ini sangat krusial kehadirannya agar hakim merasa memiliki imunitas yudisial saat mengizinkan KY hadir pada sidang tertutup.
“Tidak ada pimpinan maupun kami para hakim agung menolak KY untuk hadir. Namun harus ada payung hukumnya sehingga hakim junior kami di judex facti terlindungi, terutama pihak yang kalah akan mempemasalahkan," pungkas Nani. (KY/Halima/Festy)