
Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung Agustinus Purnomo Hadi yang merupakan hakim ad hoc Tipikor pada MA menjadi satu-satunya calon hakim agung Kamar Militer yang menjalani wawancara terbuka, Jumat (8/8/2025) di Auditorium KY, Jakarta. Calon diwawancara oleh Pimpinan dan Anggota KY didampingi Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Hidayat Manao sebagai pakar bidang Kamar Militer dan mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan sebagai pakar kenegarawanan.
Agustinus menjelaskan soal tindak pidana militer yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), tersebar dalam 150 pasal, misalnya desersi. Ketika tindak pidana di KUHPM tidak diatur unsur waktu perang, berarti deliknya adalah delik biasa.
"Dalam konteks membunuh musuh, di KUHPM juga mengatur bahwa tindakan militer yang berbuat dalam batas-batas kewenangannya dan diperbolehkan oleh hukum. Jadi, jika yang dibunuh kombatan yang bersenjata dan pihak lawan, maka menurut KUHPM ada alasan pembenar seperti dalam KUHP. Bahkan di waktu perang ada pasal peniadaan pidana,” jelas Agustinus.
Di militer, lanjut Agustinus, sudah dididik yang mana sasaran legal atau kombatan. Untuk menentukan _mensrea_-nya, sama dengan proses di peradilan umum, maka personel militer harus membuktikan niat membunuhnya.
“Gradasi mensrea dan niat diukur dengan maksud, kesadaran pasti, kemungkinan, atau kelalaian. Tinggal mana yang akan (dipilih) didakwakan,” ujar Agustinus.
Sasaran serang juga harus tempat yang legal, bukan tempat ilegal yang menjadi sasaran seperti rumah sakit, tempat ibadah, dan sebagainya. Berdasarkan hukum humaniter, RS tidak bisa menjadi sasaran, makanya diberikan lambang supaya mudah dikenal, dan menyerang RS adalah kejahatan perang.
"Oleh karena itu dalam perang konvensional, sebelum menyerang biasanya diumumkan ke penduduk. Penduduk sipil dipisahkan terelebih dulu untuk mengungsi. Kalau penduduk sipil tidak mau memisahkan diri setelah diumumkan, berarti orang-orang yang di situ menjadi sasaran legal,” pungkas Agustinus. (KY/Noer/Festy)