Survei KY: 59 Persen Hakim Pernah Mendapat Ancaman Keamanan
Ketua KY Amzulian Rifai saat menjadi salah satu narasumber Seminar Internasional Hari Ulang Tahun ke-72 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dengan tema “Penegakan Hukum terhadap contempt of court (CoC) dalam Mewujudkan Peradilan Berkualitas”, pada Senin (21/04/2025) di Gedung Mahkamah Agung (MA).

Jakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai mengungkap fakta terkait penghinaan terhadap pengadilan atau contempt of court (Coc). Berdasarkan survei advokasi hakim yang pernah dilakukan KY, dari 120 satuan kerja yang disurvei, sebanyak 59 persen responden mengaku pernah mengalami ancaman keamanan, seperti ancaman pembunuhan, guna-guna, dan santet. Sementara 38,5 persen lainnya mengaku pernah mengalami bahaya keamanan. 

"Bersama Anggota KY lainnya, di era kepemimpinan saat ini, KY memberikan atensi terhadap keamanan hakim melalui advokasi. Kadang tanpa ada laporan, KY mengirim tim melakukan advokasi. Meskipun hakimnya sendiri menganggap biasa, dan KY tidak perlu datang," ungkap Ketua KY Amzulian Rifai. Hal itu disampaikan saat menjadi salah satu narasumber Seminar Internasional Hari Ulang Tahun ke-72 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dengan tema “Penegakan Hukum terhadap contempt of court (CoC) dalam Mewujudkan Peradilan Berkualitas”, pada Senin (21/04/2025) di Gedung Mahkamah Agung (MA) dan disiarkan di Youtube PP IKAHI.

Amzulian melanjutkan, bicara soal CoC, ia berpendapat bukan barang yang baru. Bahkan, saat menjadi asisten dosen di Australia tahun 1992-an dan melatih hakim dari Indonesia, CoC sudah menjadi bahan diskusi. Saat mengikuti sidang di Australia, lanjutnya, persidangannya hening dan hampir tidak ada CoC. 

"Dibandingkan dengan Indonesia, maka pengertian CoC perlu diperluas. Alasannya CoC di Indonesia terjadi baik di dalam maupun di luar persidangan," saran Amzulian. 

Amzulian menjabarkan penyebab CoC. Pertama, penegakan hukum di eksternal dan internal lemah, terutama di tingkat pengadilan negeri yang bersinggungan langsung dengan masyarakat. Kedua, kultur menghadapi pengadilan, sehingga kultur harus dibentuk berdasarkan tugas masing-masing lembaga. Ketiga, trust public terhadap dunia peradilan. 

KY memberikan perhatian pada perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim melalui advokasi hakim. Ada beberapa alasan, pertama karena hal ini merupakan kewajiban konstitusional, yaitu Pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY) yaitu mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

Kedua, dalam upaya menghadirkan independensi hakim. Konsep independensi dapat digambarkan sebagai keadaan di mana hakim dapat membuat putusan yang bebas dari pengaruh eksternal, baik dari cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, pihak swasta, ataupun dari dalam cabang kekuasaan yudikatif sendiri," urai Amzulian.

Terakhir, pentingnya adanya perlindungan terhadap para hakim dalam menjalankan tugas. KY memandang bahwa perlindungan terhadap hakim masih sangat rentan. KY melakukan serangkaian langkah dalam melakukan advokasi hakim, seperti pendampingan, koordinasi, mediasi, dan imbauan. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait