Pengawasan dan Penegakan Integritas Seimbangkan Independensi dan Akuntabilitas Peradilan
Anggota KY Binziad Kadafi saat menjadi pembicara dalam bedah buku Bunga Rampai Penegakan dan Penguatan Integritas Peradilan dalam rangkaian Constitution Law Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah pada Senin, (9/9/2024) di Aula Teater FSH UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan.

Tangerang Selatan (Komisi Yudisial) - Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi berpendapat pengawasan dan penegakan integritas hakim akan bersentuhan dengan prinsip independensi sekaligus akuntabilitas peradilan. Jika dilaksanakan dengan tepat, ia meyakini akan menyeimbangkan independensi dan akuntabilitas peradilan.

"Esensi pengawasan penting untuk memberi sinyal pada para hakim mengenai mengenai standar etika dan perilaku yang diharapkan mereka dari mereka. Selain itu juga penting untuk menunjukkan kepada publik bahwa hakim dan peradilan bersedia memenuhi standar tersebut serta menindak perilaku yang tidak pantas yang dalam hal ini dilakukan oleh KY," jelas Kadafi saat menjadi pembicara dalam bedah buku Bunga Rampai Penegakan dan Penguatan Integritas Peradilan dalam rangkaian Constitution Law Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah pada Senin, (9/9/2024) di Aula Teater FSH UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan.

Kadafi yang menjadi salah seorang penulis dengan judul "Perbandingan Penegakan Integritas Hakim" menjelaskan dua perspektif konsep integritas, yaitu perspektif negara hukum dan demokrasi.

"Dalam perspektif negara hukum, integritas harus dipahami sebagai norma bahwa pengemban jabatan publik harus memiliki karakter profesional, contohnya hakim harus baik. Sementara dalam perspektif demokrasi, integritas mesti dilihat sebagai norma bahwa setiap jabatan publik bertanggung jawab meraih kepercayaan publik, terutama lembaga peradilan yang harus memenuhi tuntutan masyarakat," jelas Kadafi mempertajam argumen mengenai pemaknaan integritas yang tidak dapat ditafsirkan tunggal. 

Kadafi juga mengajak mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah memahami posisi KY yang sering disalahpahami tanpa peran, tetapi sejatinya punya kewenangan yang lengkap.

"KY dianggap tidak berbuat apa-apa, padahal jangan lupa kalau KY bekerja diikat oleh kerahasiaan. Disangka oleh media, KY baru muncul kalau ada skandal misal hakim sidang Tanur, OTT hakim agung. Padahal ada berbagai kewenangan lain seperti menjaga marwah dan kehormatan hakim melalui advokasi hakim, peningkatan kapasitas hakim melalui pelatihan hakim, juga pemantauan persidangan.

Menurutnya, KY masih memiliki pekerjaan rumah pada area pengawasan yang masih terdapat tumpang tindih dengan Badan Pengawasan Mahkamah Agung sebagai pengawas internal.

"Kerja KY banyak wilayah abu-abu karena banyak tumpang tindih. Terlebih pelanggaran etika dan perilaku kerap disembunyikan di balik putusan," jelas Kadafi.

Meski begitu, Kadafi memberi rambu-rambu cara membaca putusan yang dapat diduga terdapat pelanggaran etika di dalamnya. Pertama, putusan bertentangan dengan ketentuan hukum yang jelas dan tegas sehingga tidak ada keraguan perbedaan dalam memastikan. Kedua, putusan dibuat dari dasar hukum dan dasar fakta. Ketiga, dalam putusan terdapat kesalahan hukum yang terpola dan berulang-ulang dilakukan oleh hakim yang sama. Keempat, adanya niat jahat dalam suatu kesalahan hukum. Kelima adalah kesalahan hukum yang sifatnya keterlaluan, bahkan mengerikan.

"Ke depan area abu yang sering jadi permasalahan ketegangan antara KY dan MA ini sedang dibangun dan dikomunikasikan oleh KY. Namun, ini juga memerlukan pemikiran dari adik-adik semua untuk membedakan antara etika murni dan teknis yudisial," tutup Kadafi. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait