Etika dan Hukum Tidak Boleh Dipisahkan
saat menyampaikan keynote speech dalam Dialog Nasional “Refleksi Kelembagaan Komisi Yudisial”, Selasa (20/8/2024) di Auditorium KY, Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Jimly Asshiddiqie mengupas soal etika dan hukum. Menurutnya, sepanjang sejarah, hukum dan etika mengalami perkembangan yang reduksionis pemaknaan. Lama-kelamaan, muncul perkembangan hukum, sehingga tidak bisa lagi hanya mengandalkan hukum. 

“Di samping urusan benar-salah di dalam hukum, kita harus mempromosikan tingkah laku baik-buruk, yaitu merupakan ranahnya etika. Etika dan hukum tidak boleh dipisahkan, karena keduanya saling mengisi kekosongan yang ada,” jelas Jimly saat menyampaikan keynote speech dalam Dialog Nasional “Refleksi Kelembagaan Komisi Yudisial”, Selasa (20/8/2024) di Auditorium KY, Jakarta.

Oleh karena itu, Jimly menganggap harus menata kehidupan berbangsa dan bernegara kita dengan the rule of law dan the rule of ethic. Hal itu dapat dilakukan amendemen UUD NRI Tahun 1945 terkait perluasan wewenang KY, sehingga KY tidak hanya hakim yang diawasi, melainkan pegawai atau pejabat publik lainnya. 

“Selain itu, perlunya instansi Mahkamah Kode Etik sebagai tingkat kasasi tertinggi dalam mengadili permasalahan kode etik profesi dan sebagainya,” ungkap Jimly. 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Ketua KY Paruh II Periode 2010-2015 Suparman Marzuki menyinggung persoalan integritas hakim. Ada dua integritas personal sebagai seorang hakim, yaitu independen dan imparsial. Integritas tersebut merupakan sebuah kewajiban hakim sebagai seorang profesional. Profesi yang profesional adalah memiliki integritas independen dan imparsial yang merupakan tuntutan alam dan tidak dapat dibendung. 

Ia menyarankan agar mulai fokus pada character building di lingkungan universitas, karena era saat ini mahasiswa sedang mengalami penurunan kesopanan dan kapasitas. KY dapat berperan dalam menyiapkan calon-calon hakim sejak di bangku perkuliahan. 

“Hal itu dapat dilakukan dengan cara menjalin kerja sama dengan fakultas hukum di beberapa universitas di Indonesia. Perlu ditanamkan bahwa profesi hakim jangan diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki karakter yang baik,” beber Suparman.

KY juga dapat menjadi instituional building. Untuk membangun institusi yang baik harus mencakup beberapa hal, yaitu : well educated, well salary, well motivation, well equipment dan well control. KY perlu menaikkan standar hakim di Indonesia agar kompetensi serta kualitas hakim di Indonesia benar-benar terjaga. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait