Wacana Pemiskinan Koruptor Dinilai CHA Ahmad Shalihin Tidak Boleh Melebihi Korupsinya
Calon hakim agung kamar Pidana kedua yang diwawancara di hari pertama, Senin (8/7/2024) adalah Ketua Pengadilan Tinggi Maluku Utara Ahmad Shalihin. Ia dicecar terkait wacana pemiskinan kepada koruptor.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung kamar Pidana kedua yang diwawancara di hari pertama, Senin (8/7/2024) adalah Ketua Pengadilan Tinggi Maluku Utara Ahmad Shalihin. Ia dicecar terkait wacana pemiskinan kepada koruptor.

Ahmad Shalihin mengaku kurang setuju dengan hal itu. Ia menilai bahwa koruptor tidak bisa dihukum melebihi kejahatan yang dilakukan. "Dia tidak bisa dihukum melebihi dari apa yang dia lakukan," ujar Ahmad.

Ia melanjutkan, "Jadi, seseorang misalnya melakukan tindak pidana merugikan negara 100 juta, maka seharusnya untuk dilakukan penyitaan barang-barangnya sebatas 100 juta," urainya.

Ia bercerita bahwa pernah melakukan pelatihan ke Turki bersama KY. Menurutnya, di Turki tidak dikenal istilah pemiskinan. Saat menyita barang, harus dilihat kedudukan yang disita. Misalnya, jika jabatan terakhir sebagai Direktur Jenderal, maka pantas memiliki barang yang mahal. 

"Tidak boleh disita sampai tidak punya rumah lagi. Kalau disita semua, seakan hasil kerja selama puluhan tahun tidak ada hasilnya. Kita tidak boleh menzalimi seseorang. Pemiskinan itu melawan hukum, karena mengenai penjeraan sudah jelas dalam politik hukum kita, bukan pembalasan tetapi pembinaan," jelas Ahmad.

Ia kembali menegaskan saat menghukum orang, maka harus proporsional kecuali diminta pembuktian terbalik. "Jika tidak bisa dibuktikan, boleh disita. Namun tidak boleh melebihi apa yang dilakukan. Tapi memang di KUHP kita yang baru, pidana bagi korupsi direndahkan,” beber Ahmad.

Ditanyakan mengenai tindak pidana kekerasan seksual yang sulit dibuktikan, sesuai dalam karya tulis yang dibuat, Ahmad menganggap hakim yang memutus terlalu formil sehingga tidak mau berfikir karena saksi dan korban hanya anak.

"Anak tidak boleh disumpah dalam proses di pengadilan. Anak memberikan keterangan di persidangan hanya dihargai sebagai petunjuk. Bagi hakim yang berpegang pada ketentuan ini, maka perbuatan dapat dianggap tidak terbukti," ungkapnya.

Namun, Pasal 25 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan, keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait