Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung (CHA) Kamar Pidana ketiga yang diwawancara adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Makassar Parulian Lumbantoruan. Parulian ditanyakan tentang makalah dalam seleksi kualitas terkait asas nullus testis unus testis versus testimonium de auditu (kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain).
Dalam contoh perkara, Parulian melihat buktinya sangat minim, yaitu mengandalkan satu-satunya keterangan saksi korban, sedangkan saksi yang lain hanya mendengarkan. Parulian menyatakan agar hakim jangan semata-mata mendengar apa yang disampaikan saksi selain korban, tapi harus melihat "keadaan" pada saat mendengarkan keterangan itu.
Menurut Parulian, pada kasus kesusilaan, keberanian dari saksi korban untuk menceritakan pengalaman yang dialaminya kepada keluarga atau orang lain adalah suatu keadaan yang benar. Apabila tidak mengada-ngada dalam memberikan keterangan, korban bercerita menguraikan air mata. Hal itulah yang dimaksud Parulian dengan “keadaan”.
“Kami tidak semata-mata mengatakan saksi yang mendengar sebagai saksi de auditu. Tapi saksi yang dalam keadaan tertentu, atau yang terjadi pada saat itu, sehingga yang satu sama lain ada kaitannya, ditarik ada suatu petunjuk dari keterangan saksi, surat, dan terdakwa,” jelas Parulian dalam wawancara calon hakim agung, Selasa (31/1) di Auditorium KY, Jakarta.
Untuk keterangan terdakwa yang membantah tidak melakukan pelecehan seksual, maka tidak langsung dapat diterima oleh hakim. Ia berpendapat, hakim harus melihat mengapa keterangan itu muncul. Lalu dilihat apa tindakan terdakwa selanjutnya setelah perbuatannya dilaporkan.
“Hakim harus progresif. Hal itu berarti tidak boleh kaku terhadap suatu adagium bahwa satu orang saksi bukan saksi, dan juga manfaat dari saksi de auditu. Hakim harus memprogresifkan dirinya dengan mendengarkan keterangan saksi dalam keadaan apa. Tidak hanya menggunakan kacamata undang-undang, tapi harus dengan mengedepankan rasa keadilan,” ujar Parulian.
Parulian ditanya tantangan negara untuk menghasilkan sarjana hukum berkarakter Pancasila. Hal tersebut adalah cita-cita mulia jika melihat produk dari fakultas hukum. Sebagai cita-cita yang mulia, semua stakeholder hukum baik di tingkat kementerian maupun lembaga negara wajib mendukung, sehingga muncul sarjana hukum bermental Pancasila.
“Dalam memutus, sebenarnya saat membacakan judul putusan, irah-irah putusan, hal itu demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga sudah melekat nilai-nilai Pancasila. Kami selalu mendasarkan putusan sesuai sila-sila Pancasila dan menjadi pedoman dalam putusan kami,” pungkas Parulian. (KY/Noer/Festy)