Yogyakarta (Komisi Yudisial) - Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) perlu diatur, karena hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Pasal 19 UU nomor 48 tahun 2009. Upaya pencegahan PMKH, berdasarkan sumbernya, ada yang bersifat eksternal, yakni norma dan kelembagaan Mahkamah Agung (MA) dan lembaga peradilan di bawahnya, Komisi Yudisial (KY), dan elemen masyarakat lainnya.
Hal tersebut dikatakan Ketua Pengadilan Negeri Dumai M. Buchary K. Tampubolon saat menjadi pembicara dalam Webinar Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) yang di selenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Senin, (22/11).
Menurut M. Buchary, dalam rangka menegakkan keadilan dan hukum, hakim memiliki rambu-rambu yang berupa norma hukum, maupun kode etik. Norma hukum yang dapat digunakan dalam pencegahan PMKH berupa Ius Constitutum dan Ius Constituendum Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku saat ini atau hukum yang telah ditetapkan (hukum positif), sedangkan Ius Constituendum adalah hukum yang dicita-citakan atau hukum yang diangan-angankan (bukan utopia).
Dikatakan M. Buchary, Ius Constitutum dapat diterapkan sesuai Pasal 13 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 serta peraturan lainnya. Sedangkan Ius constituendum melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim dan RUU Contempt of Court l. Sesuai ketentutan umum Pasal 1 angka 3, Jabatan Hakim adalah kedudukan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara. Menyelesaikan perkara memiliki arti minutasi dan eksekusi dalam perkara perdata.
“Karena putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap seyogianya dieksekusi. Artinya putusan hakim harus dilaksanakan, sehingga keadilan hukum telah ditegakkan,” ungkap M. Buchary.
Ditambahkan M. Buchary, pencegahan PMKH dapat berasal dari internal hakim itu sendiri. Hakim hendaknya selalu introspeksi, selalu memperbaiki diri (taubat), me time (harus punya waktu tertentu untuk mengasingkan diri, atau “uzlah” (ketika berusaha bangun di waktu malam bertafakur di saat orang-orang sedang tidur lelap), zuhud (menggunaakan fasilitas dunia untuk akhirat, bukan memusuhi dunia) dan bersedekah.
"Hakim harus berusaha menjadi hakim yang mulia sehingga ketika wafat juga mulia,” tutur M. Buchary.
Dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim, menurut M. Buchary, KY telah banyak sekali menjalin kemitraan dengan elemen masyarakat. Untuk itu, KY sebaiknya menjalin kemitraan tentang pengawasan terhadap elemen masyarakat yang berkategori PMKH, setiap perilaku PMKH perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim dan langkah konkret, serta mempublikasikannya. Perlu kesadaran sebagai bangsa yang modern untuk memberikan skala prioritas menjaga kehormatan hakim. Karena semakin terjaga kehormatan hakim, maka semakin tegak keadilan dan hukum.
“Semakin tinggi tingkat publikasi KY terhadap tindakan hukum atas perilaku PMKH, maka semakin tinggi pula tingkat kehormatan hakim di masyarakat. Tingkat kehormatan Hakim berbanding lurus dengan tegaknya keadilan dan hukum,” tutup M. Buchary dalam hipotesisnya. (KY/Eka Putra/Festy)