Calon hakim ad hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung (MA) kedua yang diwawancara pada Senin (18/11) adalah Advokat dari Farianto & Darmanto Law Firm Willy Farianto,yang merupakan perwakilan APINDO.
Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim ad hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung (MA) kedua yang diwawancara pada Senin (18/11) adalah Advokat dari Farianto & Darmanto Law Firm Willy Farianto,yang merupakan perwakilan APINDO.
Dalam menafsirkan UU Ketenagakerjaan, tidak boleh menggunakan penafsiran gramatikal. Willy menyatakan hal demikian karena jika ditelaah dalam UU Ketenagakerjaan, tidak satu pun pasal yang berbunyi melindungi pengusaha. Adapun hanya satu ketentuan, yakni melindungi dunia usaha. Padahal ada banyak pasal yang melindungi pengusaha. Tidak tepat dikatakan UU Ketenagakerjaan tidak melindungi pengusaha, karena dibentuk tentunya untuk kedua subjek, pengusaha dan tenaga kerja.
“Jika bicara secara hukum, saya tidak tahu mengapa perlindungan pengusaha diatur secara gramatikal, karena kembali lagi ke politik hukum. Misalnya ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketentuan tersebut jelas melindungi pengusaha karena pengusaha tiap detik, menit, pengusaha bisa melakukan PHK. Walaupun demikian, seyogianya hal tersebut tidak gampang dilakukan, karena persoalan PHK juga beban di perusahaan,” ujar Willy.
Dalam kesempatan tersebut, Willy juga mengkritik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dirasakan kurang memiliki rasa keadilan, malah banyak digantikan oleh Surat Edaran MA (SEMA). Padahal dari hierarki, harusnya Putusan MK implementasinya lebih kuat dibandingkan SEMA. Masyarakat lebih suka dengan SEMA. Contoh tentang upah proses. Putusan MK mengharuskan pembayaran upah proses setelah putusan inkracht, namun SEMA memutuskan upah proses diberikan maksimal selama enam bulan tanpa menunggu putusan inkracht. MA menurut Willy lebih mengakomodir keadilan dalam masyarakat.
“Saya datang ke MA karena ingin mengakomodir kearifan masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan hukum di masa depan, misalnya revolusi industri 4.0. Misalnya saat ini dunia usaha sedang berlomba-lomba membuat hubungan kemitraan. Benarkah demikian? Sebenarnya ini hubungan kemitraan atau hubungan kerja?” kata Willy.
Pernyataan tersebut dilanjutkan dengan pertanyaan oleh panelis, hubungan dalam transportasi online apakah berbentuk kemitraan atau hubungan buruh pengusaha? Willy menjawab bahwa hal tersebut menarik ditelusuri, hingga menjadi bahan disertasi Willy. Dalam satu merek tarnspotasi online, ada lima pihak. Pemilik merek di aplikasi, pengiriman barang, pembayaran nontunai, merek yang listing, dan pengemudi. Masing-masing pihak memiliki tugas dan wewenang masing-masing, jadi polanya adalah pembagian tugas.
“Saya lihat ini benar kemitraan, tapi tidak berimbang. Pengemudi posisinya paling lemah. Misalnya pengemudi mobil, mayoritas mereka sewa atau cicil. Sehingga ada keharusan bekerja ekstra untuk membayar, sehingga posisinya paling lemah. Jika dilihat dari segi hukum, iya ini kemitraan, karena unsur menerima upah tidak terpenuhi,” jelas Willy. (KY/Noer/Festy)