Anggota Komisi Yudisial (KY) Sumartoyo saat Diklat 3 Program PPC Terpadu Angkatan III Lingkungan Badan Peradilan Umum dan Agama, Gelombang I, Jumat (23/8) di Pusdiklat Mahkamah Agung, Megamendung, Jawa Barat.
Bogor (Komisi Yudisial) – Anggota Komisi Yudisial (KY) Sumartoyo berpesan kepada para calon hakim untuk menjalankan profesi hakim dengan bekerja berdasarkan niat baik dan tekun. Pesan itu disampaikannya kepada para calon hakim dalam Diklat 3 Program PPC Terpadu Angkatan III Lingkungan Badan Peradilan Umum dan Agama, Gelombang I, Jumat (23/8) di Pusdiklat Mahkamah Agung, Megamendung, Jawa Barat.
Ia juga menghimbau para calon hakim untuk memahami Kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) agar martabat dan kewibawaan hakim terjaga dan kepercayaan publik meningkat. “Setiap kode etik ada penjabarannya yang harus dipahami dan resapi agar Indonesia kelak memiliki hakim yang benar-benar bermartabat dan mulia. Jika itu terjadi maka public trust akan meningkat,” jelasnya.
Kehadiran KY yang bertugas menegakkan pelaksanaan KEPPH, tambahnya, merupakan usaha untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan. Meskipun pada saatnya nanti kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan sudah baik dan meningkat, Sumartoyo percaya KY tetap dibutuhkan karena checks and balances diperlukan di setiap lembaga.
Selain itu, terkait pengawasan, ia juga menuturkan bahwa independensi hakim dalam membuat putusan tidak terlepas dari akuntabilitas, layaknya dua sisi mata uang. Untuk menjamin adanya akuntabilitas maka diperlukan pengawasan.
Pihak-pihak yang kurang berkenan dengan praktik independensi hakim yang tidak dapat ditembus, menghendaki adanya akuntabilitas untuk perbaikan kualitas putusan. Sayangnya, ujar Sumartoyo, tugas KY sebagaimana dimuat di konstitusi terbatas untuk pengawasan perilaku hakim. Padahal, tambahnya, secara tidak terlihat, perilaku sangat memengaruhi pengambilan putusan dan perlu diawasi.
“Tugas konstitusional berdasarkan perubahan amandemen keempat untuk KY selaku pengawas eksternal itu hanya diberi kewenangan untuk mengawasi perilaku. Hal itu amat disayangkan, peran besarnya menjadi tidak maksimal. Manakala produk-produk putusan bisa diperbaiki dengan cara-cara seperti itu, orientasinya bukan untuk intervensi tapi betul-betul untuk menjaga kewibawaan peradilan,” pungkas Sumartoyo (KY/Yuni/Festy)