Jakarta (Komisi Yudisial) - Peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) majelis hakim PN Surabaya yang menangani perkara terdakwa GRT oleh Kejaksaan Agung memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai menyebut, KY sebelumnya telah merekomendasikan sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan mengusulkan diajukan ke sidang majelis kehormatan hakim (MKH). Selanjutnya, KY akan fokus pada pengawasan yang terintegrasi.
"Perbaikan itu harus terintegrasi. Menurut saya, agar hal ini tidak terulang dunia peradilan, maka tidak bisa dilihat dari satu aspek. Hampir semua orang yang berperkara mau menang dan menghalalkan segala acara, sehingga menjadi hal yang kompleks. Sementara KY bukan penegak hukum. Untuk menuntaskan hal ini harus didalami oleh penegak hukum," jelas Amzulian dalam dialog RRI, Rabu (4/12/2024).
Amzulian secara tegas berpendapat, perkara ini harus dikawal bersama karena bukan hanya persoalan tentang tiga hakim yang OTT saja, tetapi sebagai salah satu upaya memutus rantai praktik makelar kasus peradilan.
"Berita ini jangan menghilang. Publik menunggu apakah pelaku adalah pemain tunggal atau tidak. KY pun terus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk terselesaikannya perkara tersebut," ungkap Amzulian.
Lebih lanjut Amzulian menegaskan bahwa pengawasan internal dan pengawasan eksternal dari kedua lembaga harus sama-sama kuat.
"Untuk menghilangkan sepenuhnya makelar kasus memang sulit. Kami di KY melaksanakan semaksimal mungkin dengan pelatihan untuk hakim, mencari calon hakim agung yang ideal hingga pengawasan dari luar. Seluruh upaya sudah dilakukan, dan kita harus akui bahwa penjatuhan sanksi berat pada majelis perkara GRT muncul karena KY bergerak dan bekerja," tutup Amzulian. (KY/Halima/Festy)