Bekasi (Komisi Yudisial) - Banyaknya korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak berbanding lurus dengan upaya penegakan hukumnya. Berdasarkan laporan polisi, sejak tahun 2015-2019 tercatat sebanyak 554 laporan dengan jumlah tersangka 757 orang. Namun, hanya 413 yang dibawa Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk disidangkan di pengadilan, sedangkan sebanyak 140 laporan atau sebanyak 25% lebih tidak dapat disidangkan karena terdapat berbagai macam kendala sehingga berakibat korban tidak mendapatkan keadilan. Di tahun 2019-2022 terdapat 1545 kasus perdagangan orang dengan jumlah korban sebanyak 1732 orang.
"Ada kecenderungan peningkatan kasus perdagangan orang dari tahun ke tahun. Korban TPPO meliputi laki-laki khususnya yang bekerja sebagai ABK di kapal penangkapan ikan berbendera asing dan juga marak korban laki-laki yang diperdagangkan untuk melakukan penipuan online atau scaming," ungkap Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta saat membuka Pelatihan Tematik dengan tema “Tindak Pidana Perdangan Orang” yang diselenggarakan KY di Hotel Harris, Bekasi, (11/11/2024).
Menurut Sukma, penanganan perkara TPPO di pengadilan memperlihatkan belum adanya konsistensi dalam penggunaan Undang-Undang (UU) untuk mengadili terdakwa dengan modus yang kurang lebih sama. Ada yang didakwa dan diadili berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada dengan UU Pekerja Migran Indonesia, bahkan banyak yang menggunakan UU Keimigrasian sehingga terdawa hanya melanggar persyaratan-persyaratan dalam pengiriman pekerja ke negara lain.
Sukma menambahkan, unsur delik yang sebenarnya tidak dirumuskan dalam UU TPPO dan seharusnya memudahkan aparat untuk membawa pelaku ke pengadilan justru dianggap sebagai kekurangan. Hal ini terjadi tanpa memperhatikan dengan seksama bukti-bukti yang menunjukkan cara perdagangan orang, seperti menjaring korban dengan cara dijerat dengan hutang yang besar karena korban harus menanggung seluruh biaya.
"Contoh lain biaya perjalanan dari kampungnya, biaya hidup ditempat penampungan misalnya di Jakarta sebelum keberangkatan dan kadang-kadang sampai berbulan-bulan, biaya perjalanan ke luar negeri atau ketempat lain di dalam negeri. Seluruh biaya tersebut dibebankan kepada korban dan dijadikan sebagai hutang yang melilit korban sehingga tidak mudah bagi korban untuk keluar dari jaringan jahat tersebut," ungkap Sukma.
Lanjut Sukma, unsur delik dalam bentuk eksploitasi orang sering jadi tertutup dengan alasan korban telah menandatangani kontrak kerja tanpa dipaksa. Dengan adanya kontrak kerja ini, maka kejadian terhadap korban seringkali dianggap tidak memenuhi unsur delik berupa adanya eksploitasi orang.
"Selain itu masih dapat kekurangan pemahaman tentang jaringan kejahatan TPPO sehingga pihak yang dimintakan pertanggungjawaban hukum hanya pelaku di level lapangan atau phyisical perpetrator. Hal itu pun tidak semua pelaku lapangan dibawa ke pengadilan, sedangkan aktor intelektual jarang dibawa ke pengadilan dan mereka tetap bebas di luar dan bisa melanjutkan praktik TPPO kepada korban lainnya. Akibatnya sita atas harta hasil kejahatan TPPO yang berada pada aktor intelektual tidak pernah dilakukan, restitusi juga jarang didapatkan oleh korban," urai Sukma.
Ditambahkan Sukma, UU TPPO juga memiliki beberapa ketentuan hukum beracara yang berbeda dengan KUHAP, tetapi mirip dengan hukum acara dalam penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum atau perkara penanganan perkara anak berhadapan dengan hukum, seperti memperkenalkan mekanisme pendamping bagi korban dan saksi.
“Kejahatan perdagangan orang saat ini sudah dalam kondisi darurat untuk segera diatasi bersama. Hakim memiliki peran sentral untuk mengatasi masalah-masalah yang modusnya keji dan telah memakan banyak korban, terutama perempuan dan anak-anak," pungkas Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim.
Pelatihan ini berlangsung Senin s.d Jumat, 11 s.d 15 November 2024 yang diikuti sebanyak 40 hakim di lingkungan peradilan umum dari berbagai wilayah Indonesia. (KY/Eka/Festy)