Hakim yang Ungkap Proses Pemeriksaan Perkara Tergolong Pelanggaran Etik
Tenaga Ahli Komisi Yudisial (KY) Totok Wintarto saat menerima mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Pertiba, Rabu (02/10/2024) di Ruang Pers KY, Jakarta.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Kasus-kasus pelanggaran hukum yang viral juga turut menjadikan hakim memutus perkara tersebut menjadi perhatian publik.  Bahkan, opini yang dibangun media dikhawatirkan akan memengaruhi terhadap independensi hakim dalam memutus perkara.

"Saat menangani kasus viral, apapun putusannya itu kemandirian hakim yang artinya tidak boleh ada yang mengintervensi. Kemudian saat hakim justru menceritakan perkembangan proses persidangan, maka hal itu sudah tergolong pelanggaran etik," ujar Tenaga Ahli Komisi Yudisial (KY) Totok Wintarto saat menerima mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Pertiba, Rabu (02/10/2024) di Ruang Pers KY, Jakarta.

Totok memberikan contoh dalam kasus Sambo yang viral. Saat masih dalam proses persidangan, viral video salah satu hakim anggota yang menangani perkara sedang membicarakan kasus tersebut dengan orang lain. Seharusnya berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), maka hakim harus profesional dengan tidak membuka proses di belakang layar kasus yang sedang berjalan kepada orang lain.

“Namun, KY tidak masuk ke dalam putusan hakim, karena putusan itu ranah teknis yudisial. KY hanya masuk melalui etik, papar Totok.

Saat ditanya mengenai tantangan terbesar bagi KY dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), Totok menjawab bahwa rekomendasi KY yang sering ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) dengan alasan teknis yudisial. Padahal proses di KY dalam menjatuhkan rekomendasi sanksi pasti sudah melalui banyak proses, baik dari administrasi, sidang panel, pemeriksaan, dan sidang pleno. 

Ada banyak laporan masyarakat yang seharusnya dikenakan sanksi ringan atau sedang, tetapi ditolak dengan alasan teknis yudisial. Sedangkan saat akan menjatuhkan sanksi berat, ternyata MA telah memutus duluan dengan sanksi lebih ringan, sehingga rekomendasi KY tidak bisa diterima karena dianggap _ne bis in idem_. Seharusnya jika terjadi perbedaan penjatuhan sanksi, menurut Totok, KY dan MA dapat melakukan pemeriksaan bersama.

“Berapa biaya yang sudah dikeluarkan, kerugian waktu dan pikiran, tetapi ditolak dengan alasan teknis yudisial,” pungkas Totok. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait