Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) melalui sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menjatuhkan pemberhentian tetap kepada hakim hakim yustisial pada Pengadilan Tinggi (PT) Medan AGRG, Rabu (4/9/2024) di Gedung MA, Jakarta.
"Menjatuhkan sanksi disiplin kepada terlapor dengan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap seperti dimaksud Pasal 19 ayat 4 huruf d Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atau KEPPH," ujar Hakim Agung Nurul Elmiyah yang bertindak sebagai ketua sidang MKH.
Dalam sidang MKH atas usulan MA ini, hakim terlapor AGRG terbukti melanggar KEPPH karena tidak masuk tanpa keterangan yang sah selama 70 hari kerja, pada periode 2 Juli 2021 hingga 4 Maret 2022. Bahkan, terlapor pernah selama tiga bulan berturut-turut tidak masuk kerja. Padahal, AGRG telah menandatangani fakta untuk disiplin dalam bekerja, dan telah diperiksa hingga tiga kali untuk permasalahan yang sama.
Mengutip fakta persidangan MKH, dalam pemeriksaan ketiga oleh tim PT Medan pada Januari dan Februari 2022, terlapor tidak hadir. Karena terlapor tidak hadir dan tidak dapat memberikan alasan ketidakhadirannya, sehingga diajukan ke MKH. Dalam pembelaannya, terlapor mengaku keberatan dibawa ke MKH karena sudah diperiksa oleh dua Ketua PT Medan yang berbeda, dan terlapor menganggap sudah selesai permasalahannya. Selain itu, ketidakhadirannya tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terlapor juga meluruskan bahwa menjadi hakim yustisial di PT Medan bukan karena kena sanksi, tapi karena alasan sering sakit, harus merawat ibu yang sakit-sakitan, dan pasca perceraian saat bertugas di Pengadilan Negeri Payakumbuh. Hal tersebut dibuktikan tunjangannya sebagai hakim tidak dipotong, sebagaimana hakim yustisial yang kena sanksi non palu.Terlapor juga harus merawat ibunya yang tinggal sendiri dan sakit-sakitan, meskipun mengakui bahwa tidak pernah melaporkan alasan tersebut ke Ketua PT Medan. Dalam proses pembelaan, terlapor mengajukan alat bukti surat dan saksi ibu kandung terlapor.
Perwakilan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) memberikan pembelaan bahwa terlapor sudah pernah dijatuhi sanksi di tahun 2021 dan 2022 dengan peringatan tertulis. Sehingga dianggap kurang pas akumulasi pelanggaran 70 hari tersebut, karena sanksi peringatan 1 dan 2 sudah pernah dikenakan, sehingga harusnya mengurangi akumulasi jumlah ketidakhadiran yang diajukan ke MKH.
Menurut majelis, pelanggaran terlapor termasuk kategori berat, tetapi majelis masih menimbang pengabdian dan kewajiban terlapor merawat ibunya. Pembelaan dari IKAHI ditolak karena tidak dapat membantah hasil pemeriksaan Badan Pengawas MA. Hal meringankan terlapor punya tanggungan keluarga, yakni ibu. Terlapor dan ibu juga dalam kondisi sakit-sakitan. Hal memberatkan terlapor tidak masuk kerja dalam kurun waktu yang cukup lama, sudah pernah diperiksa dalam kasus yang sama, dan sudah menandatangani surat perjanjian untuk disiplin dalam bekerja.
Dalam pertimbangan, sanksi yang dijatuhkan kepada hakim terlapor tidak sama persis dengan bunyi ketentuan Pasal Pasal 19 ayat 4 huruf d Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 2/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH. Karena hakim terlapor belum memenuhi syarat menerima hak pensiun, maka yang dimaksud oleh MKH adalah hakim terlapor diberhentikan dengan hormat sebagai hakim dan tidak diberhentikan sebagai PNS.
"Menjatuhkan sanksi disiplin kepada terlapor dengan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap," pungkasnya.
Adapun susunan majelis terdiri dari Hakim Agung Nurul Elmiyah, Irfan Fachruddin, dan Yohanes Priyana dari MA, sementara perwakilan Komisi Yudisial (KY) terdiri dari Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah, Anggota KY Joko Sasmito, Sukma Violetta, dan Mukti Fajar Nur Dewata. (KY/Noer/Festy)