Fenomena "No Viral No Justice" sebagai Kritik Penegakan Hukum
Sinergisitas Komisi Yudisial dengan Media Massa "Refleksi Penegakan Integritas Hakim", Sabtu (24/8/2024) di Purwokerto.

Purwokerto (Komisi Yudisial) - Maraknya fenomena "no viral no justice" menjadi kritik bagi aparat penegak hukum untuk lebih concern menangani kasus hukum di masyarakat. Kasus-kasus hukum yang viral ini juga diharapkan mampu mengikis penegakan hukum yang dilaksanakan secara tebang pilih. Media yang memiliki fungsi kontrol sosial, tidak hanya sekadar menginformasikan tetapi juga perlu mengedepankan etika jurnalistik.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Soedirman Hibnu Nugroho berpendapat bahwa fenomena "no viral no justice" juga karena kecepatan informasi di media sosial dan media massa. Fenomena ini juga ada kalanya membuat pemerintah cenderung menjadi khawatir untuk mempertahankan sistem atau kebijakan yang menimbulkan polemik apabila sudah viral.

"No viral no justice juga merupakan kritik untuk penegak hukum untuk lebih serius dalam menangani kasus, semakin banyak penanganan yang benar maka akan semakin berkurang tren "no viral no justice"," jelas Hibnu saat menjadi narasumber dalam  "Refleksi Penegakan Integritas Hakim", Sabtu (24/8/2024) di Purwokerto.

Meski fenomena "no viral no justice" terkesan memaksa pemerintah untuk bekerja lebih tangkas dan cepat dalam penegakan hukum, Hibnu menilai  fenomena ini jangan dianggap menakutkan dan harus dihindari. Bahkan, di sini media massa dapat menunjukkan perannya sebagai salah satu tiang dari penegakan hukum. 

"Jurnalis harus punya strategi tempur. Pengawasan ketat dari media pada proses peradilan, baik dari praajudikasi, ajudikasi, dan post ajudikasi akan membawa dampak lain dari hukum tebang pilih," ungkap Hibnu

Dalam kesempatan sama, Direktor Pusham UII Eko Riyadi menegaskan, dalam mengawal pemberitaan yang viral, maka peliputan tetap harus tunduk pada etika jurnalistik.

Eko menjelaskan bahwa banyak sekali kebijakan negara yang hadir berkat dari tulisan-tulisan yang didorong oleh media. Eko meyakinkan media tidak gentar untuk bersuara karena kebebasan media dan masyarakat sipil bukan karena historis, tapi secara alamiah melekat dengan sendirinya.

"Kemerdekaan pers bukan milik negara, it's yours. Kalau ada yang mau ambil alih, media menulis bukan diberi oleh negara, tetapi independen yang tidak tergantung legislasi," tegas Eko.

Senada dengan Eko, Senior Editor Hukumonline M. Yasin juga meyakini bahwa peran media memiliki dampak yang besar pada kasus-kasus hukum yang terjadi. Media dengan temuan faktanya dapat membawa multiplier effect bagi aparat penegak hukum ataupun pelaku hukum itu sendiri.

Meski peran media semakin powerful, Yasin mengajak para wartawan untuk selangkah lebih maju dalam memberitakan fakta. Menurutnya, menulis harus diawali dengan paradigma bahwa viral ini belum tentu benar. Tuntutan menulis dengan cepat pun diharapkan tidak menyebabkan media kehilangan ruh untuk memvalidasi berita yang ada.

"Peran KY sangat penting untuk menyediakan data itu. Yuk kita harus memperkaya diri kita dengan data. Karena siapa lagi yang kita harapkan menunjukkan data? Dorong terus agar penegakan hukum berbasis pada data, kita bukan lambeturah," tutup Yasin. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait