Anggota KY Mukti Fajar Nur Dewata Bahas Disruptive Innovation dari Perspektif Hukum
Anggota KY Mukti Fajar Nur Dewata saat menjadi narasumber dalam seminar Internasional yang berjudul “Legal And Human Rights Issues of Artificial Intelligence (AI) Gaps And Challenges, And Affected Future Legal Development in Various Countries” di Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang, Kamis (16/05).

Semarang (Komisi Yudisial) - Anggota Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata mengulas soal persoalan hukum yang timbul di era sharing economy karena melahirkan disruptive innovation.

Hal ini karena hukum sebagai sistem yang terbuka memungkinkan berinteraksi dengan teknologi. Kecerdasan buatan (AI) di era 4.0 ini melahirkan inovasi model bisnis yang mendorong munculnya disruptive innovation. Salah satu permasalahan timbul ketika hukum tidak bisa mengatur disruptive innovation.

"Inovasi dengan menciptakan barang atau jasa yang memiliki keunggulan fungsi lebih dari sebelumnya merupakan tujuan dari disruptive innovation. Seperti contoh munculnya aplikasi Whatsapp yang telah menggantikan telepon genggam berkabel, di mana Whatsapp memiliki fungsi yang jauh lebih unggul", jelas Mukti Fajar Nur Dewata saat menjadi narasumber dalam seminar Internasional yang berjudul “Legal And Human Rights Issues of Artificial Intelligence (AI) Gaps And Challenges, And Affected Future Legal Development in Various Countries” di Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang, Kamis (16/05).

Mengutip dari orasi ilmiah saat pengukuhan Guru Besar Universitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Mukti memaparkan bahwa sharing economy yang melahirkan disruptive innovation membuat kekacauan jika diatur dengan norma yang dipakai meregulasi bisnis yang konvensional. Oleh karena itu, ia menawarkan beberapa gagasan. Pertama, bahwa hukum bisnis harus didesain secara pragmatis agar dapat mengawal perubahan model bisnis yang cepat sekali berubah. Kedua, perlu adanya pergeseran otoritas regulator dari pemerintah ke para pelaku usaha dengan memberi hak untuk membuat self regulation

"Hal tersebut akan lebih efektif menjaga persaingan yang adil dan pasar akan semakin dinamis, sehingga masyarakat sebagai konsumen akan banyak diuntungkan," tandasnya

Hadir dalam kesempatan itu sebagai narasumber yaitu Prof. Allisher Umirdinov dari Universitas Nagoya, Jepang dan Prof. Henk Addink dari Universitas Ultrech, Belanda. Para narasumber sepakat bahwa sangat penting untuk meregulasi penggunaan kecerdasan buatan yang etis, aman, dan bertanggung jawab. (KY/Dewi/Festy)


Berita Terkait