Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon Hakim Agung (CHA) Kamar Pidana ketiga yang diwawancara adalah Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya F. Willem Saija. Willem ditanyakan terkait makalah yang dibuat saat tes kualitas terkait tema pidana kekerasan seksual. Saat membuat makalah tersebut, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum selesai dibahas.
Disahkannya UU tersebut merupakan momentum kehadiran negara untuk melindungi korban kekerasan seksual, karena selama ini memang banyak kasus kekerasan seksual di masyarakat yang tidak bisa ke pengadilan. Tidak bisa bukan karena tidak bisa disidik, tapi karena memang acuan hukumnya lemah. Contoh pasal di KUHP bab mengenai kesusilaan, dua hal penting yang diatur di situ, yaitu perkosaan dan percabulan.
Dalam makalah tersebut kasus pidana kekerasan seksual yang tidak bisa dibawa ke pengadilan karena tidak ada dasar hukumnya.
"Kita bisa merujuk ke Pasal 292 KUHP, tetapi pasal tersebut korbannya anak-anak. Sedangkan dalam hal ini korbannya orang dewasa, jadi tidak mungkin,” jelas Wiilie.
Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga diatur, lanjutnya, tapi kekerasan seksual yang diatur di lingkup rumah tangga. Sedangkan kekerasan seksual ini lingkupnya lebih luas. Kekerasan seksual ini hampir semuanya masuk di penafsiran kekerasan seksual UU TPKS, seperti di Pasal (4) Ayat 2, yakni: pemerkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak, dan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban. Dengan kata lain dalam UU TPKS lebih luas pengertiannya, dan Willem senang sekali hukum bisa maju sampai tahap ini, supaya ke depan menjadi lebih baik.
Menurut Willem, masih ada dua hal yang menjadi persoalan. Pertama, perlu cek kembali apakah dengan diundangkannya ini perlu dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, karena dalam UU TPKS Willem melihat ada banyak hal baru.
“Misalnya di situ disebut satu saksi saja cukup bisa disebut terdakwa bersalah. Padahal ini bertentangan dengan asas yang kita anut dalam KUHAP, misalnya satu saksi bukan saksi, unus testis nullus testis. Tentu saja ini butuh perubahan. Ada juga dalam UU ini diatur bahwa diperlukan dana untuk korban yang menderita kekerasan seksual,” beber Willie.
Apakah dengan adanya UU ini mejanin aksi kekerasan seksual menurun? Willie berpendapat belum tentu, karena UU berada di ranah kertas, perlu tindakan agar seberapa jauh UU ini bisa diimplementasikan. UU ini perlu segera disosialisasikan kepada aparat penegak hukum, karena banyak hal baru yang diatur di sini.
“Ini perlu kemauan baik dari berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum. Apalagi kekerasan seksual ini terkait dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dilanggar dalam masyarakt kita. Jadi kembali berpulang pribadi orang,” lanjut Willie.
Willie dalam kesempatan tersebut meralat beberapa bagian tulisan yang menyebut kekerasan seksual dilakukan restorative justice dan pendekatan humanis. Setelah membaca isi UU TPKS, sudah tegas disebutkan tindak pidana kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan. Artinya restorative justice untuk perkara tersebut tertutup.
“Ini langkah baik, karena saya bisa meralat kembali apa yang saya tulis. Saya harus mengikuti perkambangan zaman. Kalau memang UU menyebut begitu, kita koreksi. Pada prinsipnya saya setuju terhadap tindak pidana kekerasan seksual tidak perlu dilakukan restorative justice,” pungkas Willie. (KY/Noer/Festy)