Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus dalam sambutannya sekaligus membuka kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Advokat Indonesia bertema, “Peran Profesi Advokat sebagai Officium Nobile dalam Peradilan yang Bersih dan Berwibawa” di Auditorium KY, Jakarta, Rabu (11/12).
Jakarta (Komisi Yudisial) – Keberhasilan penegakan hukum bergantung pada substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum, serta aparat penegak hukum. Para aparat penegak hukum, seperti jaksa, polisi, hakim, dan advokat perlu bersinergi karena berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hal itu disinggung oleh Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus dalam sambutannya sekaligus membuka kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Advokat Indonesia bertema, “Peran Profesi Advokat sebagai Officium Nobile dalam Peradilan yang Bersih dan Berwibawa” di Auditorium KY, Jakarta, Rabu (11/12).
“Kalau hakim harus taat asas hukum acara, advokat juga harus taat asas juga memperhatikan hukum acara yang harus dihadapi, apakah itu hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan seterusnya,” ujar Jaja.
Selain harus memiliki keilmuan yang memadai, seorang advokat, tutur Jaja, harus pula memiliki dasar pendidikan, jiwa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, serta kecerdasan spiritual.
Bahkan, menjunjung tinggi kejujuran adalah bagian dari prinsip etik profesi apapun juga. “Begitu juga seorang advokat, seorang hakim, atau profesi apapun juga, nilai kejujuran itu menjadi sangat penting,” ujar Jaja.
Lebih lanjut Jaja menuturkan apabila seorang advokat dapat memenuhi unsur-unsur tersebut maka ia boleh menyandang officium nobile.
“Seandainya ada upaya-upaya untuk memengaruhi hakim, mengintervensi hakim, maka tentunya hal itu sangat jauh sebagai officium nobile,” jelas Jaja.
Hakim harus membatasi hubungannya dengan advokat dalam dua hal, misalnya manakala advokat yang bersangkutan sedang menangani perkara di pengadilan bersangkutan tetapi perkaranya tidak ditangani oleh hakim yang bersangkutan. “Jika bertemu di tempat umum, say hello saja cukup. Tidak boleh makan bersama-sama, dan seterusnya,” tegas Jaja.
Yang kedua lanjut Jaja adalah prinsip hakim berintegritas tinggi yang mana harus menghindari hubungan dengan advokat yang bersangkutan manakala sedang menangani perkara yang sama-sama sedang ditangani.
Melalui forum ini Jaja mengingatkan bahwa penegakan hukum di pengadilan itu bukan murni persoalan hakim semata, akan tetapi semua stake holder pengadilan. Oleh karena itu diperlukan sinergi untuk mewujudkan officium nobile sebagaimana dimaksud.
“Semuanya harus bersinergi, bukan dalam arti saling memengaruhi, akan tetapi saling menjaga nilai-nilai etik, dari profesi masing-masing stake holder, baik hakim, advokat, jaksa penuntut umum, penyidik,” tandas Jaja.
Jaja juga berpesan sehubungan dengan program KY, judicial education, di hadapan para peserta bahwa pemahaman etik itu harus dilakukan oleh semua stake holder termasuk para advokat itu sendiri. Karena apabila para advokat menjalankan etikanya dengan baik maka, Jaja yakin proses penegakan hukum di negara kita akan semakin baik ke depannya.
Sebagai informasi, turut hadir berdiskusi sebagai narasumber selain Ketua KY, mantan hakim agung dari profesi advokat Gayus Lumbuun, Anggota Komisi III Taufik Basari, dan sejumlah advokat, antara lain Frans Hendra Winarta, Ahmad Yani, M Ismak, Ali Nurdin, dan Muhammad Assegaf. Diskusi dan Silaturahmi Advokat Indonesia ini mengundang lebih dari 500 anggota organisasi-organisasi advokat dan turut dihadiri media. (KY/Yuni/Festy)