Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Aidul Fitriciada Azhari dalam Diskusi dan Bedah Buku “Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman” di Restoran Raja Sunda Bekasi Jawa Barat, Senin (19/11).
Bekasi (Komisi Yudisial) - Ketika berbicara manajemen kekuasaan kehakiman, saat ini pengelolaan hakim dengan model satu atap (one roof system) belum maksimal. Kalau dikomparasi dengan berbagai negara, problemnya sebenarnya bukan bagaimana hakim harus dikosentrasikan pada satu lembaga. Tetapi bagaimana hakim bisa terbebas dari pengaruh birokrasi.
Hal tersebut disampaikan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Aidul Fitriciada Azhari dalam Diskusi dan Bedah Buku “Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman” di Restoran Raja Sunda Bekasi Jawa Barat, Senin (19/11).
“Ada yang salah dalam mendiagnosis persoalan independensi dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat birokrasi itu independen,” ujar Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta ini.
Menurut Aidul, ada diagnosis yang salah, bukan soal bagaimana memisahkan kekuasaan kehakiman dari eksekutif lalu memboyong semua urusan administrasi keuangan dan kepegawaian menjadi satu di bawah Mahkamah Agung (MA).
“Kuncinya adalah memperkuat otonomi birokrasi. Sehingga persoalan hakim itu sebagai pejabat negara atau bukan tidak relevan lagi,” ucap Aidul.
Aidul mengusulkan, menjaga otonomi birokrasi (administrasi keuangan dan kepegawaian) yang mengelola hakim adalah birokrasi. Atau ingin digeser, itu dikelola oleh lembaga sendiri, dalam hal ini adalah Komisi Yudisial. Dengan demikian beban birokrasi Mahkamah Agung dan hakim itu tidak terlalu besar.
Aidul juga mengkritik terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim yang saat ini dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Persoalan yang mengemuka bukan persoalan independensi tetapi persoalan kesejahteraan.
“Apakah dengan menjadi pejabat negara hakim bisa lebih independen?” tanya Aidul.
Lebih lanjut, Aidul mencoba melakukan komparasi dengan beberapa negara. Dari aspek komparasi, kalau berbicara tentang kekuasaan kehakiman yang berhubungan dengan lembaga lain itu berbicara tentang pemisahan kekuasaan (separation of power).
Di dunia konsep separation of power kurang lebih ada tiga, yang pertama model Amerika. Di Amerika kekuasaan benar-benar dipisahkan. masing-masing kekuasaan ini tidak tercampur.
"Agar tidak terkosentrasi pada satu cabang kekuasaan maka berlakulah mekanisme checks and balances. Saling mengimbangi dan saling mengawasi," jelas Aidul.
Di Amerika tidak dikenal sistem satu atap, karena manajemen kekuasaan kehakiman dikelola masing-masing.
Model Jerman, sebenarnya tidak dikenal separation of power. Karena di Eropa mekanisme checks and balances tidak diutamakan. Di sana lebih mengutamakan proporsionalitas.
Separation of power hanya berlaku antara kekuasaan kehakiman, pengadilan di Jerman, pemerintah dan legislatif. Hakim tinggi tidak di bawah Mahkamah Agung (MA), di Jerman MA ada lima dan 1 Mahkamah Konstitusi (MK).
“Hakim di Jerman adalah pegawai departemen kehakiman, tetapi jangan dibayangkan seperti di Indonesia, karena birokrasi di Jerman sangat independen,” cerita Aidul.
Di Perancis, kehakiman bukan pemegang kekuasaan. Kehakiman hanya memegang wewenang. Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Presiden Prancis dan bantu oleh Dewan Perancis.
“Peradilan tidak mempunyai kekuasaan tetapi mempunyai wewenang,” pungkas Audul. (KY/Jaya/Festy)