Jakarta (Komisi Yudisial) – Peserta kedua seleksi wawancara bagi calon hakim agung (CHA) untuk Kamar Tata Usaha Negara (TUN) adalah Sartono. Menurutnya, sepanjang tahun 2009-2016 ada lebih dari 9.000
permintaan Peninjauan Kembali (PK) untuk perkara pajak yang diterima Pengadilan Pajak.
“Kendala Peradilan Pajak saat ini adalah pengajuan perkara pajak seringkali tidak memiliki bukti kuat dan berulang-ulangnya perkara pajak yang diajukan,” ujar Wakil Ketua III Pengadilan Pajak Bidang Pembinaan dan Pengawasan Kinerja Hakim.
Banyaknya perkara pajak tersebut, membuat Sartono berkeinginan menyelesaikan perkara secepatnya. Namun seringkali pihak yang berperkara tidak dapat menyediakan bukti yang kuat. Selain itu, seringkali perkara yang diajukan adalah perkara yang sama.
“Harus ada sinergi peraturan di antara Peradilan Pajak dan Dirjen Pajak dan Bea Cukai agar pengajuan perkara yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap tidak bisa dikabulkan,” kata Sartono.
Hal seperti itulah yang menyebabkan proses di Peradilan Pajak menjadi lama.
Ditanya soal pembatasan perkara yang bisa dikasasi ke MA, ia mengaku tidak setuju sebab bertentangan dengan HAM.
“Namun mungkin bisa dialihkan ke perkara khusus yang imbasnya kecil, cukup diselesaikan di tingkat pertama saja,” usul Sartono.
Untuk itu, jika terpilih sebagai hakim agung, ia menawarkan ada semacam spesifikasi atau unifikasi putusan agar MA dalam mengambil putusan dapat mengadopsi putusan yang dianggap bagus sebagai patokan.
“Memang negara kita tidak menganut yurisprudensi, namun menurut saya jika kita melakukan unifikasi maka penyelesaian perkara bisa dipercepat dan mengurangi penumpukan perkara di MA,” pungkas mantan Kepala Bagian Umum Kanwil DJP Jakarta Timur ini. (KY/Noer/Festy)