Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon hakim agung Kamar Perdata pertama yang diwawancara di hari ketiga, Rabu (10/7/2024) adalah Hakim Tinggi Yustisia Panitera Muda Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA) Ennid Hasanuddin. Ennid ditanya mengenai hak cipta atas hasil karya artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Ennid mengakui belum memahami betul mengenai AI. Calon berpendapat, AI itu hanya tools (alat), sementara yang menggerakkan adalah seseorang yang memerintahkan.
“Sehingga ketika dalam konteks penegakan hak ciptanya, orang yang menyuruh itu (pemiliknya). Sama halnya dengan orang atau karyawan disuruh menggambar logo kantor dan tidak ada perjanjian, maka dianggap penciptanya adalah pimpinan kantor itu," ujar Ennid.
Kaitannya apakah AI akan menjadi subjek hukum. Bisa jadi, lanjut Ennid, suatu ketika AI dapat menjadi subjek hukum tetapi secara fiksi. "Contoh badan hukum. Badan hukum itu hanya tumpukan kertas, SK dari menteri dan lain-lain. Namun sekarang dianggap sebagai subjek hukum sehingga dimungkinkan,” kata Ennid.
Ennid juga ditanyakan fenomena banyaknya yayasan yang tidak lagi beroperasi. Ennid menjawab salah satu penyebab adalah tidak adanya satu hati antara pemilik modal, yakni antara orang tua dengan anak-anaknya.
“Oleh karena itu penting ada kesepakatan dalam keluarga dan kecukupan ahli waris secara finansial, sehingga tidak akan mengutik wakaf atau yayasan yang diniatkan oleh orang tuanya,” beber Ennid.
Khusus tentang yayasan, konsepnya berupa harta yang dipisahkan dan nonprofit. Jadi, sudah tidak bertuan lagi karena sudah diserahkan untuk kepentingan umum.
"Sehingga demikian, ahli warisnya sudah tidak berhak menggugat yayasan itu lagi. Jika ada masuk gugatan perdata terkait ini, secara tegas akan ditolak," pungkas Ennid. (KY/Noer/Festy)