Jakarta (Komisi Yudisial) - Memasuki hari ketiga wawancara calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di MA Tahun 2024, Rabu (10/7/2024), menghadirkan 2 calon hakim agung kamar Tata Usaha Negara (TUN), yaitu Hari Sugiharto dan Mustamar, serta 3 calon hakim agung kamar Perdata, yaitu Ennid Hasanuddin, Gunawan Widjaja, dan Ig. Eko Purwanto di Auditorium KY, Jakarta.
Calon hakim agung Kamar TUN yang pertama diwawancara adalah Direktur Binganis pada Dirjen Badan Peradilan Militer dan TUN Mahkamah agung (MA) Hari Sugiharto. Calon dicecar soal kebijakan pejabat negara dalam penanganan masa pandemi Covid-19.
Hari menilai bahwa boleh-boleh saja ketika pejabat negara mengeluarkan kebijakan dengan alasan kesehatan atau keamanan negara sebagai salah satu alasan sosiologis dikeluarkannya kebijakan tersebut.
"Karena unsur-unsur seorang pejabat mengeluarkan putusan atau kebijakan bisa dari aspek sosiologis, yuridis, atau filosofis, tetapi harus tetap dibatasi aspek kewenangannya," urai Hari.
Kedua, lanjut Hari, secara prosedur apakah sudah menerapkan tahap-tahap yang ditentukan dalam peraturan. Ketiga, substansi apakah sehingga keputusan atau tindakan itu perlu dikeluarkan.
“Prinsipnya dalam dasar normatif, keputusan yang dikeluarkan dalam rangka bencana alam, perang, dan kondisi yang luar biasa membahayakan negara bukan menjadi kewenangan PTUN, sesuai Pasal 49 UU PTUN,” jelas Hari.
Hari juga dicecar soal UU Cipta Kerja yang kontroversial. Salah satunya, hilangnya kewenangan PTUN atas upaya hukum fiktif positif yang sebelumnya diatur Pasal 53 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja telah mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan, di mana kewenangan Pengadilan TUN dihilangkan.
“Sehingga jika sekarang diselundupkan, karena sudah tidak berwenang menguji fiktif positif, diarahkan ke tindakan faktual atau melawan hukum oleh penguasa, itu memang tidak benar dan tidak ada relevansinya,” ujar Hari.
Surat Edaran MA juga telah berpendapat, dengan adanya UU No. 30 Tahun 2014, PTUN sudah tidak berwenang lagi menguji gugatan fiktif positif. Dengan demikian wajar, apabila hakim di daerah secara judex factie berpendapat bahwa gugatan fiktif positif sudah bukan menjadi kewenangan PTUN.
“Kuncinya apakah ada aturan hukumnya pejabat tersebut seharusnya melakukan tindakan konkret tetapi tidak melakukan tindakan konkret. Atau seharusnya tidak melakukan tindakan konkret, tetapi melakukan tindakan konkret, maka hal itu dapat menjadi tindakan faktual, begitu pula sebaliknya. Jika demikian, maka bisa digugat ke PTUN,” pungkas Hari. (KY/Noer/Festy)