Jakarta (Komisi Yudisial) - Memasuki hari kedua wawancara calon hakim agung dan calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) diikuti 6 orang. Mereka terdiri dari 2 calon hakim agung dari Kamar Tata Usaha Negara (TUN), khusus pajak yaitu Ruwaidah Afiyati dan Triyono Martanto, serta 1 orang di Kamar TUN, yaitu Lulik Tri Cahyaningrum. Wawancara juga diikuti 2 orang calon hakim agung Kamar Agama, yaitu Abd. Hakim dan H. Imron Rosyadi, serta Lucas Prakoso di Kamar Perdata.
Seleksi dilakukan untuk mencari 11 hakim agung dengan rincian: 1 orang di Kamar Perdata, 7 orang di Kamar Pidana, 1 orang di Kamar TUN, 1 orang di Kamar TUN khusus pajak, dan 1 orang di Kamar Agama. Selain itu juga dibutuhkan 3 tiga hakim ad hoc HAM di MA.
Para peserta akan diuji oleh panelis yang terdiri dari 7 Anggota KY, 1 orang negarawan, dan 1 orang pakar hukum. Panelis akan menggali visi, misi, komitmen, kenegarawanan, integritas dan komitmen, wawasan pengetahuan hukum dan peradilan, dan kompetensi teknis terkait penguasaan hukum formil dan materiil. Calon dari Kamar TUN khusus pajak akan menjawab pertanyaan dari panelis yang terdiri dari Pimpinan dan Anggota KY, Prof. Bagir Manan dari unsur kenegarawanan dan pakar perpajakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tjip Ismail.
Dalam sesi wawancara, calon pertama Hakim Pengadilan Pajak Ruwaidah Afiyati, dimintai pandangannya mengenai tindak pidana korupsi (Tipikor) yang salah satu mata anggarannya berasal pajak. Calon secara tegas mengungkapkan bahwa Tipikor bukan hanya merugikan keuangan negara. Lebih jauh, Tipikor juga merupakan kejahatan melawan hukum karena terdapat niat atau mens rea.
Meski begitu, calon sangat hati-hati untuk mengelompokkan suatu kesalahan dan kekhilafan dalam permasalahan perpajakan yang tergolong pada perkara Tipikor. Menurutnya, perlu dilakukan pemeriksaan yang berjenjang untuk dapat menyimpulkan bahwa perkara yang ada termasuk pada Tipikor atau tidak.
"Misal, kesalahan surat tahunan yang dilaporkan oleh wajib pajak tidak semata menjadi indikasi korupsi. Tindak pidana perpajakan terjadi apabila dalam pemeriksaan tahunan yang dilakukan dalam 5 tahun ditemukan permulaan terjadinya indikasi penggelapan untuk masuk ke pemeriksaan," jelas Ruwaidah dalam wawancara, Rabu (1/2) di Auditorium KY, Jakarta.
Kemudian calon ditanya mengenai sengketa pajak terutama dalam perbedaan perhitungan oleh Ditjen Pajak. Perbedaan perhitungan dianggap calon sebagai hal yang wajar, karena memang ada target-target pemasukan oleh Ditjen Pajak.
"Kecenderungan pemeriksa itu harus mencari koreksi, sehingga ada pajak masuk. Namun, ada juga kecenderungan dari wajib pajak yang berusaha menyiasati dalam menghitung pajak," pungkas Ruwaidah. (KY/Halima/Festy)