CHA Tiarsen Buaton: Prajurit Pecandu Narkoba Harus Diberhentikan karena TNI Bukan Tempat Rehabilitasi
Calon Hakim Agung (CHA) ketiga yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari keempat, Jumat (6/8) adalah Tiarsen Buaton, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer Ditkumad.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) ketiga yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari keempat, Jumat (6/8) adalah Tiarsen Buaton, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer Ditkumad.

 

Tiarsen ditanyakan motivasi untuk ikut seleksi CHA, bahkan sudah enam kali dan selalu lolos sampai tahap wawancara. Tiarsen menjawab bahwa dia teringat kembali ketika mahasiswa, cita-citanya yang paling tinggi adalah menjadi hakim, yang tentunya menjadi hakim agung nantinya. Ternyata ketika selesai kuliah, tidak ada penerimaan pada tahun 1990 untuk hakim, sehingga Tiarsen mendaftar ke militer. Ketika mengikuti seleksi militer, Tiarsen ditanya ketika diwawancara, apa cita-cita paling tinggi di militer? Secara spontan Tiarsen menjawab menjadi hakim agung, kemudian menteri kehakiman, jaksa agung, karena waktu itu memang pimpinan-pimpinan didominasi oleh militer. Berjalan waktu cita-cita itu tidak pernah luntur.

 

“Saya sebenarnya ingin masuk pengadilan militer. Tetapi saya sudah didoktrin jangan pernah minta-minta jabatan, ya saya ikuti. Walaupun hati kecil ingin jadi hakim,” cerita Tiarsen.

 

Tiarsen lalu ditugaskan sebagai penasihat  hukum di Kodam, dan kasus yang berkaitan dengan peradilan militer. Ketika melakukan pembelaan,  Tiarsen menganggap dirinya tidak cocok jadi pembela, seharusnya jadi hakim.

 

“Kenapa saya ingin jadi hakim agung, saya melihat bisa memberikan kontribusi dalam penegakan hukum ini. Makanya saya selalu menjaga integritas saya, meningkatkan kemampuan saya, ikut seleksi dari 2013. Motivasi itu tidak pernah hilang, dan niat itu tidak pernah luntur,” lanjut  Tiarsen.

 

Tiarsen lalu ditanyakan soal UU Narkotika Pasal 54 ada ketentuan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi, baik medis maupun sosial. Ada Surat Telegram (ST) atau Perpang kalau prajurit TNI melakukan tindak pidana narkotika harus dihukum seberat-beratnya, bahkan dijatuhi pidana tambahan pemecatan. Bagaimana Tiarsen menyikapi sebagai seorang hakim? 

 

Dalam hal ini sebenarnya menurut Tiarsen tidak ada konflik. Rehabilitasi itu menjadi hak setiap orang.

 

“Namun demikian selaku institusi, kembali lagi kepada seorang prajurit harus sehat jasmani dan rohani . Seorang prajurit TNI pecandu haknya direhabilitasi, tetapi setelahnya  diberhentikan. Karena TNI bukan tempat rehabilitasi pecandu narkoba,” tegas Tiarsen.

 

Menurut Tiarsen seorang pecandu narkotika itu harus dengan tegas diberhentikan dari lingkungan militer. Kalau direhabilitasi di militer, nanti banyak yang menggunakan, dan menghabiskan anggaran. Karena Tiarsen dengar anggarannya cukup besar, dan dari segi efektivitas dan efisiensi tidak tepat untuk prajurit direhabilitasi di lingkungan militer.

 

“Dan dari segi kesehatan, saya dapat informasi dari dokter saat ke Amerika, orang yang sudah kecanduan narkotika di otaknya itu akan selalu terngiang untuk mendapatkan narkotika. Jadi orang kalau sudah sekali mencoba, itu akan cenderung menggunakan lagi, dan itu akan menjadi racun bagi anggota yang lainnya,” pungkas Tiarsen. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait