Yogyakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata dalam keynote speech-nya menyampaikan bahwa KY ingin mempertegas perbedaan ruang lingkup Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim (PMKH) dan Contempt of Court (CoC). KY memiliki tugas untuk melindungi hakim manakala terjadi perbuatan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Bagi KY, independensi hakim adalah prinsip yang fundamental. Oleh karena itu, independensi hakim harus diawasi sekaligus dilindungi, yang disebut di KY sebagai tugas advokasi hakim.
“Permasalahan yang muncul, seringkali istilah PMKH dianggap sama dengan CoC, apakah benar demikian?” tanya Mukti pada peserta Forum Diskusi Sinergisitas KY dengan Aparatur Penegak Hukum dalam rangka “Upaya Pencegahan Perbuatan Anarkis Di Persidangan dan Pengadilan” untuk wilayah Yogyakarta.
Mukti mengharapkan Peraturan KY Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim perlu dipertegas kembali, terutama menyangkut ruang lingkup dari PMKH. Karena ada kecenderungan bagi pihak-pihak di luar yang membaca ketentuan ini untuk mencampuradukkan antara PMKH dengan CoC. Padahal, definisi dan ruang lingkup, PMKH berbeda dari istilah Coac yang telah lebih dulu dikenal secara lebih luas. PMKH adalah suatu perlindungan lebih kepada hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menghasilkan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Sementara CoC fokusnya pada perlindungan pengadilan atau proses peradilan.
“Dari sisi legalitas, PMKH sebenarnya lebih memiliki landasan yang jelas dibanding dengan CoC. PMKH sudah diatur paling tidak dalam bentuk UU dan Peraturan KY. Sedangkan CoC hanya diperkenalkan pada Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan belum diperjelas batasan maupun ruang lingkupnya dalam peraturan mana pun. Meskipun di rancangan KUHP yang beredar terakhir, beberapa konsep tindak pidana sudah dimasukkan sebagai CoC,” beber Mukti.
Ketidaktahuan wewenang ini juga terkait dengan diseminasi informasi. Kewenangan advokasi yang dimiliki KY masih belum terlalu dikenal. Terdapat beberapa kemungkinan kewenangan advokasi hakim tidak popular, antara lain peran dan posisi hakim sangat sentral dalam persidangan, sehingga peluang hakim untuk mengalami tindakan persekusi atau korban dari tindakan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu relatif kecil.
Di samping itu, minimnya laporan dari hakim mengenai PMKH karena hakim itu lebih memilih fokus pada perkara yang ditangani. Ketika memang ada tindakan-tindakan yang dipandang sebagai perbuatan merendahkan martabat hakim, tetapi oleh hakim tidak dianggap sebagai prioritas untuk ditindaklanjuti. Respons sebagian hakim terhadap PMKH di pengadilan dianggap hanya sebagai bentuk dinamika persidangan yang lumrah terjadi, khususnya di pengadilan-pengadilan dengan perkara yang banyak dan kompleks. Dengan demikian, kadang suatu PMKH tidak dipandang sebagai masalah serius untuk ditindaklanjuti. (KY/Noer/Festy)