CHA Aviantara: Aturan Pidana Kekerasan Seksual Sudah Cukup Berat
Memasuki hari kedua, Selasa (26/04), seleksi wawancara calon hakim agung (CHA) dilaksanakan untuk Kamar Pidana di Auditorium KY, Jakarta dan disiarkan melalui kanal Youtube KY.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Memasuki hari kedua, Selasa (26/04), seleksi wawancara calon hakim agung (CHA) dilaksanakan untuk Kamar Pidana di Auditorium KY, Jakarta dan disiarkan melalui kanal Youtube KY. Pewawancara terdiri atas Pimpinan dan Anggota KY, ditambah Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva perwakilan negarawan dan Mantan Hakim Agung Parman Soeparman. 

 

Ada lima CHA yang diwawancara hari ini. CHA pertama yang diwawancara adalah Wakil Ketua pengadilan Tinggi Pontianak Aviantara. Calon ditanya soal kekerasan seksual baik terhadap perempuan dan pria.  

 

“Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual, setiap individu manusia memiliki nafsu untuk melakukan hubungan,” jawab Aviantara.

 

Aviantara melanjutkan, dilihat dari sudut materi peraturannya, sudah cukup berat. Pasal 289, 290, dan pasal lainnya di KUHP ancamannya cukup tinggi. UU Perlindungan Anak malah tambah berat. Aviantara merujuk kepada tiga teori pemidanaan, yakni teori absolut, relatif, dan gabungan. Ini yang membuat cara masing-masing majelis dalam menjatuhkan putusan berbeda. Penganut teori pembalasan pidananya cukup tinggi, didasari oleh fakta persidangan. Penganut paham relatif menekankan pembinaan, pidana agak ringan, tapi bagaimana terdakwa sadar untuk kembali ke masyarakat. Teori gabungan keduanya, sehingga hukuman memadai dan ada pembinaan, diharapkan masyarakat bisa menerima setelah selesai menjalani pidana. 

 

“Ada pencegahan juga, sehingga masyarakat tidak mau melakukan. Moral justice dan social justice terpenuhi,” lanjut Aviantara. 

 

Saling lapor antar pendukung politik ramai saat ini, dan ada kesan tidak berimbang dalam penegakan hukumnya. Aviantara ditanya apa upaya untuk mengubah kesan, bahwa peradilan itu fair,imparsial, dan adil?

 

“Selama ini saya terapkan, tidak sekalipun menunjukkan keberpihakan. Hakim tidak berfungsi sebagai penegak hukum saja. Sidang terbuka untuk umum, kita memberi hak yang sama, kepada JPU, penasihat hukum, dan terdakwa. Kadang memang ada hak salah satu pihak yang tidak dipenuhi oleh panelis, sehingga itu yang memberikan persepsi kita mendukung pihak tertentu. Kita usahakan berikan hak yang sama,” ujar Aviantara.

 

Persoalan lain yang disorot adalah minutasi di MA yang masih menjadi masalah saat ini. Aviantara ditanyakan bagaimana caranya berkontribusi jika menjadi hakim agung.

 

“Saya akan mencari akar permasalahan minutasi ini di mana. Personil atau sistem. Jika sistem, kita perbaiki. Jika personil, saya lakukan pembinaan. Tidak saya pungkiri minutasi di MA masih, kadang-kadang masih ada yang belum selesai, berbulan-bulan. Kemudian perbaikan manajemen pengadilan. Kita lihat bagian mana yang perlu diperbaiki,” kata Aviantara.

 

Aviantara selama melakukan pemeriksaan reguler, banyak pengadilan yang kekurangan SDM. Ada satu pengadilan yang cuma 11 orang, termasuk hakim, panitera, dan perangkat peradilan. 

 

“Hampir dikeluhkan di semua daerah. Hakim tiga, sakit satu tidak bisa sidang, sampai mengajukan izin ke MA untuk melakukan sidang tunggal. SDM tidak juga tidak sesuai kemampuan atau tidak sesuai dengan jabatan,” jelas Aviantara. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait