Kode Etik Profesi Penegak Hukum Perlu Dikenalkan Sejak Dini
Luhut Marihot Parulian Pangaribuan saat menjadi Webinar Advokasi Hakim yang mengambil tema “Pentingnya Pendidikan Etika Profesi Hukum di Perguruan Tinggi sebagai Upaya Meminimalisir Peristiwa Contempt of Court”, yang diselenggarkan oleh Komisi Yudisial (KY)

Jakarta (Komisi Yudisial) –  Narasumber terakhir dalam Webinar Advokasi Hakim yang mengambil tema “Pentingnya Pendidikan Etika Profesi Hukum di Perguruan Tinggi sebagai Upaya Meminimalisir Peristiwa Contempt of Court”, yang diselenggarkan oleh Komisi Yudisial (KY) adalah Luhut Marihot Parulian Pangaribuan.
 
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) 2015-2020 ini menekankan bahwa profesi hukum   dijalankan secara bebas dan  mandiri. Namun dalam kebebasan itu ada batasan-batasan yang harus ditaati. Bentuknya macam-macam, bisa sumpah, etika, kode etik dan hukum.
 
“Karena dalam masyarakat tidak ada kebebasan tanpa batas. Batas itu ialah  tanggung jawab. Dilaksanakan oleh komunitasnya atau organisasi,” beber Luhut.
 
CoC sudah ada diatur dalam RKUHP. CoC sebenarnya berasal dari Inggris. Di Inggris hakimnya pasif, berbeda dengan di Indonesia yang hakimnya aktif. Hakim di Indonesia bisa mengusir pihak dari ruangan sidang. Jika CoC diatur dalam RKUHP, menurut Luhut bisa mengakibatkan over criminalization. Jadi konsep hukumnya tidak tepat. Masyarakat harus dipentung untuk hormat kepada hakim. Padahal jika hakimnya sudah baik, CoC bisa dihindari.
 
“Saya tidak setuju dengan konsep CoC di RKUHP, karena untuk menghormati peradilan tidak perlu dengan pidana, tapi internalisasi aparat penegak hukum (APH) terhadap kode etik,” tegas Luhut.
 
Peradilan harus dihormati, karena itu lembaga kita. Tapi tidak akan bisa jika dilakukan jika perguruan tinggi tidak menginternalisasi kode etik profesi hukum sebagai langkah awal. Penanaman dan internalisasi Kode Etik Advokat sudah dilaksanakan di perguruan tinggi. Akan tetapi  karena ada interelasi sistemik dalam sistem peradilan, maka efektifitasnya masih dirasakan  rendah. Bukan berarti hormat pada harkat dan martabat hakim atau pengadilan tidak ada.
 
Misalnya advokat di persidangan tidak dianggap, sehingga posisinya kritis. Sidang dijadwalkan jam berapa, tapi mulainya bisa terlambat sekali. Apalagi belum banyak pengadilan yang menyediakan ruang tunggu bagi advokat. Jadi advokat seperti tamu yang tidak diundang. Advokat sebagai tamu, disuruh datang jam berapa, disuruh menunggu tanpa konfirmasi. Padahal secara kedudukan sebagai APH, baik hakim, jaksa, dan advokat itu sama. Jika sesama APH saja saling tidak menghormati, apalagi masyarakat umum.
 
“Jadi tinggi rendahnya rasa hormat itu tergantung pada apa yang dirasakan masyarakat pencari keadilan secara umum,” pungkas Luhut. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait