Anggota KY Sukma Violetta hadir sebagai pembedah dalam acara Bedah Buku “Kebijakan Reformasi Peradilan” karya Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M di ruang sidang utama lantai 3 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu (20/7).
Yogyakarta (Komisi Yudisial) - Konsep shared responsibility (pembagian tanggung jawab) dalam pengelolaan hakim merupakan alternatif yang paling feasible dan terbaik, sebagaimana dibuktikan dalam penelitian terkini tentang peradilan Indonesia. Sukma Violetta, Anggota KY, menyampaikan hal ini dalam acara Bedah Buku “Kebijakan Reformasi Peradilan” karya Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M di ruang sidang utama lantai 3 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu (20/7).
Selain Anggota KY Sukma Violetta, hadir pula Guru Besar Fakultas Hukum UII Prof. Ni’matul Huda dan Dosen Fakultas Hukum UII Suparman Marzuki.
"Dan buku yang didasarkan pada penelitian dalam rangka penulisan disertasi karya anak muda DR Idul Rishan memperlihatkan betapa banyaknya ketidaksinkronan pelaksanaan checks and balances yang diamanahkan oleh UUD 1945 pasca reformasi, di tengah-tengah pengukuhan konsep satu atap yang awalnya didasarkan pada UU Nomor 35 Tahun 1999," jelas Sukma.
Sukma sangat mengapresiasi usulan-usulan yang ada dalam buku ini. Usulan yang ada sudah sangat tepat dan perlu dilanjutkan dalam legislasi yang memerlukan perhatian bersama.
"Solusi dari semua usulan tersebut forumnya adalah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim dan RUU Mahkamah Konstitusi yang perlu perhatian kita semua," ujar perempuan pertama yang menjadi Anggota KY ini.
Idul Rishan dalam sambutannya sebagai penulis mengungkapkan, buku ini merupakan hasil riset disertasi selama menempuh doktoral di Fakultas Hukum UGM. Buku ini tentang kekuasaan kehakiman.
Titik perbedaannya adalah dari transisi politik dan mengevaluasi pelaksanaan reformasi peradilan setelah melewati transisi politik.
Dalam penulisan buku ini meneliti empat garis besar yang melihat kembali bagamaina gagasan perubahan reformasi peradilan dalam perubahan UUD. Kemudian melakukan analisis deskriptif terhadap kebijakan reformasi peradilan yang berjalan kurang lebih 20 tahun.
"Ketiga, problematika dan tantangan dan yang keempat menjabarkan alternatif solusi atau tahapan kita melangkah terhadap realita empirik kebijakan reformasi peradilan Indonesia," urai Kepala Bagian Riset dan Publikasi Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Tetapi kalau melihat praktik kemerdekaan kekuasaan kehakiman di negara-negara modern. One roof system itu hanyalah independensi kelembagaan di mana KY memegang kontrol penuh terhadap independensi jabatan hakim.
"Yang terjadi di Indonesia malah tidak demikian, interprestasi MA, interprestasi MK adalah yang dimaksud kebijakan independensi hakim itu adalah one roof system," ujar Idul.
Dosen Fakultas Hukum UII Suparman Marzuki menyampaikan, di mana saja transisi demokrasi, salah satu agenda perubahan adalah reformasi peradilan.
Karena itu adalah pondasi negara baru, tapi dalam transisi itu tidak mudah dan itu terjadi diberbagai negara.
"Tarik menarik kepentingan antara kekuatan yang ingin terus mempertahankan kekuasaan masa lalu dan keinginan perunahan itu sangat kuat. Dan itu juga terjadi juga di Indonesia," ujar Suparman.
Suparman menyoroti pelaksanaan reformasi peradilan di Indonesia berjalan dalam kegelapan, tidak mempunyai road map yang jelas.
"Kalau reformasi peradilan itu bisa diterjemahkan dalam sebuah konstruksi bangunan sungguh sangat tidak indah," ujar Ketua KY periode 2013-2015 ini.
Terkait konsep satu atap, menurut Suparman justru melahirkan sentralisasi kewenangan di MA. Meniadakan pengaruh kekuasaan eksternal tetapi menguatkan pengaruh internal dan ada monopoli peran.
Suparman menambahkan, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh KY adalah akuntabilitas. Karena independensi tanpa akuntabilitas adalah kekuasaan yang tidak terkontrol dan potensial terjadi berbagai penyalahgunaan.
Selain itu, Suparman juga mengapresiasi berbagai upaya perubahan yang telah dilakukan. Di antaranya, rekrutmen hakim agung sudah berjalan baik yang dilakukan oleh KY.
"KY berkontribusi penting menciptakan hakim agung yang berintegritas. Sehingga KY tidak ada toleransi kalau sudah terkait integritas," ujar pria kelahiran Lampung ini.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum UII Prof. Ni’matul Huda menyoroti kinerja KY yang cenderung kurang terdengar. Menurutnya, bahwa KY ada itu penting, sehingga rakyat tau bahwa KY ada dan bekerja.
"Sehingga penguatan kelembagaan KY sangat penting. Kenapa kekuasaan kehakiman tidak mau ada sosok yang baru? itu pertanyaan penting,” pungkas Prof. Nikmatul. (KY/Jaya/Festy)