Ngobrol santai Komisi Yudisial (KY) bertema Suarakan Peradilan Bersih di Media Sosial, Jumat (19/07) di Lo.Ka.Si Coffee & Space, Bandung.
Bandung (Komisi Yudisial) – Indonesia adalah kepulauan digital. Indonesia memiliki pertumbuhan digital paling tinggi di antara negara Asia Tenggara. Intenet merupakan bagian integral masyarakat sehari-hari.
“Data PJII tahun 2019, dari 264 jutaan warga negara Indonesia, 171 jutaan tersambung ke internet, atau kurang lebih 64,8 persen. Tahun 2019, perkembangan pengguna internet di Indonesia paling cepat nomor empat di dunia, dan paling gaduh,” beber penggiat media sosial Deni Yudiawan dalam ngobrol santai Komisi Yudisial (KY) bertema Suarakan Peradilan Bersih di Media Sosial, Jumat (19/07) di Lo.Ka.Si Coffee & Space, Bandung.
Para pengikut media sosial KY ini, lanjut Deni, bisa membantu KY menyuarakan peradilan bersih.
Terkait data tersebut, Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Wicaksana Dramanda menyampaikan bahwa di era sekarang ini, harus lebih berhati-hati dalam bermedia sosial.
“Lidah yang tidak bertulang saja dapat menyakiti, apalagi jari yang bertulang. Orang mudah berpendapat di media sosial karena menganganggap tidak ada risiko. Gampang menghina orang lain, seakan tidak ada konsekuensi,” kata Wicaksana.
Posting di media sosial itu adaalah hak asasi dan dijamin oleh UUD 45. Hak lahir dari paradigma negara barat yang egaliter. Di tradisi Indonesia tidak begitu. Kita dilarang bicara yang tidak benar, tapi bicara yang benar di ruang publik dilarang, apalagi menyangkut reputasi. Reputasi itu penting di Indonesia.
“Oleh karena itu kita tidak bisa berpendapat tanpa melihat reputasi, karena reputasi itu juga hak asasi. Hukum kita terlalu longgar, tidak bisa balance antara kedua hak asasi tersebut. Misalnya pasal pencemaran nama baik. Tidak ada batasan yang jelas. Hal ini menjadikan banyak terjadi benturan, misalnya dalam kasus Garuda. Karena penghinaan sifatnya subjektif. Di luar negeri sudah tidak mengatur tentang pencemaran nama baik, ditarik ke hukum perdata,” beber Wicaksana.
Bijaklah dalam bermedia sosial. Jika ingin menulis, perhatikan diksi. Jika diksi juga mulai dipermasalahkan, kita harus maju bersama.
“Saya harap kawan disini dapat menjaga solidaritasnya bagi KY. Baiq Nuril dapat amnesti karena solidaritas. Kasus Garuda juga tidak lanjut karena solidaritas netizen,” pungkas Wicaksana. (KY/Noer/Festy)