Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta saat menjadi pembicara pada Workshop Peran Komisi Yudisial dan Masyarakat dalam Meningkatkan Efektivitas Pengawasan Perilaku Hakim di Aula Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), Rabu (26/6).
Lampung (Komisi Yudisial) - Berbagai persoalan dunia peradilan saat ini membuat rasa keadilan belum dirasakan maksimal. Untuk itu, saat ini pembenahan dunia peradilan berfokus pada akuntabilitas peradilan (judicial accountability).
Hal tersebut disampaikan Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta saat menjadi pembicara pada Workshop Peran Komisi Yudisial dan Masyarakat dalam Meningkatkan Efektivitas Pengawasan Perilaku Hakim di Aula Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), Rabu (26/6).
Menurut Sukma, fokus reformasi di dunia peradilan seharusnya tidak lagi menitikberatkan pada independensi kekuasaan kehakiman tetapi justru pada mengembalikan kepercayaan publik. Bahwa prinsip independensi tidak pernah berdiri sendiri, di mana ada independensi maka disitu pula terdapat akuntabilitas yang sama pentingnya untuk juga diperjuangkan.
“Masalah negara demokrasi baru yang dibutuhkan adalah judicial independence. Sedangkan masalah negara demokrasi berkembang di mana Indonesia masuk di dalamnnya adalah judicial accountability,” jelas Sukma.
Lebih lanjut, Sukma mengatakan, pentingnya aspek akuntabilitas merupakan fenomena yang sifatnya universal, bukan hanya di Indonesia tetapi di negara-negara transisi, yaitu negara demokrasi baru 10 atau 20 tahun terakhir.
“Indonesia masuk di dalamnnya dan beberapa negara Asia lainnya. Setelah 20 tahun terlihat yang dibutuhkan adalah judicial accountability, karena dalam mengimplementasikan judicial independence banyak hal-hal baru yang perlu dibenahi,” urai Sukma.
Pada kesempatan tersebut, Sukma juga menjelaskan terkait tugas dan wewenang KY. Berdasarkan pasal 24B UUD 1945 KY mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan calon hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
“Kewenangan KY lainnya adalah terkait pengawasan hakim dengan melakukan pemantauan (preventif) dan menerima laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran KEPPH,” jelas perempuan lulusan University of Nottingham, Inggris ini.
Sukma juga menguraikan tata cara penanganan laporan masyarakat yang dilakukan oleh KY sesuai dengan Peraturan KY Nomor 2 tahun 2015.
“KY menerima laporan masyarakat dan melakukan verifikasi. Jika memenuhi persyaratan diregister, selanjutnya dianalisa dan melakukan pemeriksaan pelapor dan saksi. Dalam sidang panel akan memutuskan dapat ditindaklanjuti atau tidak. Selanjutnya memeriksa terlapor. Dalam sidang pleno diputuskan terbukti atau tidak terbukti. Jika tidak terbukti akan dilakukan pemulihan nama baik,” urai Sukma.
Untuk itu, perlu sinergi KY dengan masyarakat sipil baik melakukan pemantauan dan juga mengawasi hakim. Selain itu juga dalam penelusuran rekam jejak hakim.
“Jika ada dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim, silahkan laporkan ke KY demi peradilan yang bersih dan independen di Indonesia,” pungkas Sukma.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Unila Prof. Maroni mengatakan, dalam melakukan pengawasan, KY perlu mengembangkan perilaku hakim itu, jangan hanya melihat dari aspek tetapi juga perilaku penyelenggara peradilan itu sendiri.
“Pelanggaran yang perlu mendapat perhatian masyarakat adalah terkait penyelenggaraan birokrasi peradilannya,” ujarnya.
Begitu besarnya ruang lingkup tugas dan wewenang KY yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, sedangkan KY hanya ada di Jakarta. Untuk itu, peran masyarakat sipil dalam membantu KY mengawasi peradilan sangat penting.
“Membantu KY adalah dengan menyampaikan laporan yang bisa dipertanggungjawabkan yang didukung oleh alat bukti yang berlaku sesuai undang-undang,” jelas Prof. Maroni. (KY/Jaya/Festy)