Anggota KY Sukma Violetta saat menjadi pembicara pada diskusi media terkait Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim dengan tema "Politik Hukum Peradilan Indonesia Dalam RUU Jabatan Hakim", pada Senin (20/5) di Jakarta.
Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) kembali menyelenggarakan diskusi media terkait Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim dengan tema "Politik Hukum Peradilan Indonesia Dalam RUU Jabatan Hakim", pada Senin (20/5) di Jakarta. Hadir sebagai narasumber Anggota KY Sukma Violetta, Anggota DPR RI Benny K. Rahman, dan peneliti senior PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar.
Dalam pemaparannya, Sukma Violetta menjelaskan bahwa fungsi pengawasan hakim bukan hanya ada di KY, tapi ada juga di Mahkamah Agung (MA) melalui Badan Pengawasan (Bawas). Jadi tumpah tindih tugas pasti ada, maka perlu adu cepat dalam proses pemeriksaan.
Ada perbedaan karakteristik pemeriksaan. Yaitu, MA dan Bawas lebih cepat karena satu komando. Namun, kredibilitas pemeriksaan yang membuat sanksi dari Bawas seringkali lebih rendah. Beda dengan KY, yang pemeriksannya membuat BAP, pembuktian lebih detail, kemudian diberikan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan.
“Jadi ada perbedaan, di mana KY sering dianggap memberikan sanksi lebih berat sedangkan MA lebih ringan. Misalnya dalam kasus di Bali. MA hanya memberikan sanksi nonpalu 2 tahun. Dalam 2 tahun oknum hakim tersebut dapat memegang palu lagi, bisa memtuskan benar salah kesalahan orang lain. Jika di KY beda lagi sanksinya. Untuk itu kami mengharapkan ada solusi mengenai pengenaan sanksi di RUU Jabatan Hakim (RUUJH),” ujar Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY ini.
Perhatian KY sekarang adalah permasalahan akuntabilitas pengadilan yang masih lemah dibahas di tingkat legislasi. Dalam kasus OTT KPK, objek yang dijual oleh hakim adalah putusannya. Artinya dengan kurang lebih 25 kasus OTT KPK di lembaga peradilan, dunia peradilan sudah masuk fase darurat pengadilan.
Sukma menekankan perlunya aspek akuntabiltas dalam proses manajemen hakim, aspek integritas, dan tidak semata keilmuan di bidang hukum.
“Jadi saat pemilihan Ketua PN maupun hakim tinggi, ada cek integritas. Saat ini cek integritas hanya ada di rekrutmen hakim agung. Saat melamar menjadi calon hakim agung, baru terlihat integritas hakim tersebut sehingga banyak hakim tinggi yang tidak dapat menjadi contoh bagi hakim dan pegawai pengadilan di bawahnya. Saya berharap soal integritas muncul dalam RUUJH mengenai ketentuan mutasi rotasi,” lanjut Sukma.
Hal ini terjadi tidak terlepas dari ketentuan satu atap di MA. Di seluruh dunia, tugas MA hanya mengadili perkara. Sedangkan di Indonesia, pasca reformasi, MA dipaksa mengurus semuanya, termasuk manajemen hakim.
“Di RUU Jabatan Hakim seharusnya hal tersebut dapat diatur secara bersama. Misalnya dalam mutasi dan promosi, MA memberikan penilaian dari keilmuan, sedangkan KY dari etikanya. Jadi putusan yang dihasilkan adalah putusan bersama. Hal ini sangat penting dalam era partisipasi dan transparasi yang didengungkan saat ini,” pungkas Sukma. (KY/Noer/Festy)