Komisi Yudisial (KY) menerima kedatangan mahasiswa dan dosen Universitas Muhammadiyah Magelang. Rombongan yang diterima oleh Tenaga Ahli KY Imran dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Pusat Analisis dan Layanan Informasi KY Agus Susanto
Jakarta (Komisi Yudisial) – Awal tahun 2019, Komisi Yudisial (KY) menerima kedatangan mahasiswa dan dosen Universitas Muhammadiyah Magelang. Rombongan yang diterima oleh Tenaga Ahli KY Imran dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Pusat Analisis dan Layanan Informasi KY Agus Susanto ini cukup antusias mengikuti audiensi yang diadakan pada Selasa, (22/1) di Auditorium KY, Jakarta.
Dalam pemaparannya Imron menjelaskan tentang wewenang KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Salah satunya dengan melakukan pengawasan perilaku hakim baik di dalam maupun di luar persidangan. Imran juga menceritakan sebelum adanya judicial review UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY oleh sejumlah hakim agung, hakim konstitusi juga menjadi objek pengawasan KY.
“Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim MK tidak berlaku. Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi tidak lagi diawasi oleh KY. Terkait hakim konstitusi, putusan tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah mengajukannya. Artinya Hakim Konstitusi melakukan ultra petita,” beber Imran.
Tahun 2013 terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan Lebak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpu Nomor 01 Tahun 2013 yang mengamanatkan dua kewenangan baru KY, yaitu membentuk panel ahli untuk melakukan rekrutmen hakim MK dan memfasilitasi pembentukan Majelis Kehormatan MK. Kemudian DPR mengesahkan Perppu MK itu menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU.
Namun, UU tersebut diuji materi oleh gabungan advokat dan konsultan hukum yang menamakan Forum Pengacara Konstitusi serta sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang melakukan uji materi dengan perkara Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Dalam sidang pembacaan putusan, majelis memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan pemohon yang dicantumkan dalam pengajuan uji materi undang-undang tersebut.
“Berdasarkan uji materi, UU Nomor 4 Tahun 2014 beserta seluruh lampirannya bertentangan dengan UUD 1945 dan UU tersebut juga diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Konsekuensinya, UU Nomor 24 Tahun 2003 berlaku kembali sebagai landasan hukum. Sehingga, terhadap pembentukan MKHK dan Panel Ahli Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Konstitusi menjadi tidak berlaku. Dan hingga sekarang tidak ada lembaga negara manapun yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi,” beber Imran. (KY/Noer/Festy)