Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi pada Kuliah Umum Akuntabilitas Peradilan dan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Kamis (13/12).
Banda Aceh (Komisi Yudisial) - Fokus reformasi di dunia peradilan seharusnya tidak lagi menitikberatkan pada independensi kekuasaan kehakiman, tetapi justru pada mengembalikan kepercayaan publik. Karena prinsip independensi tidak pernah berdiri sendiri,di mana ada independensi maka disitu pula terdapat akuntabilitas yang perlu diperjuangkan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi pada Kuliah Umum Akuntabilitas Peradilan dan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Kamis (13/12).
“Independensi yang diharapkan menjadi lebih baik, yaitu bermartabat, agung, mulia tidak akan terwujud kecuali disokong dengan akuntabilitas,” ujar Farid.
Farid menjelaskan, perilaku hakim ketika promosi atau mutasi saat ini mempertimbangkan laporan-laporan yang diajukan masyarakat, dan harusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penilaian dimiliki lembaganya.
Laporan masyarakat sudah sepatutnya dapat menjadi referensi sebelum melakukan proses promosi dan mutasi hakim, karena selama ini lebih cenderung kepada uji kepatutan dan kelayakan saja.
"Ada yang kurang dari proses pengelolaan lembaga peradilan kita selama ini, yaitu cuma mengedepankan kualitas. Tapi hampir lupa atau mengabaikan integritas yang teruji," jelas pria asal Silaping ini.
Lebih lanjut, menurut Farid Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim yang kini sedang dibahas perlu memasukkan akuntabilitas dari proses seleksi hakim dengan melibatkan lembaga lain menyangkut cek integritas maupun kepanitiaan seleksi.
"Jika ada mutasi atau promosi, sepatutnya integritas dari hakim turut diperhatikan. Tidak hanya sebatas pada kualitas saja," tegas Farid.
Mengutip pendapat Prof. Paulus E. Lotulung, Farid menyampaikan, tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tida terbatas atau tanpa batas. Kekuasaan kehakiman yang dikarakan independensi atau mandiri itu pada hakikatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu.
“Harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Independensi dan akuntabilitas merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Program Studi Doktor Fiqh Modern Pascasarjana UIN Ar-Raniry Dr Tarmizi M Jakfar mengaku, pihaknya tidak ingin fikih modern terkesan hanya mendalami kajian-kajian agama Islam saja.
"Kita juga ingin tahu, tentang hukum bidang umum. Apalagi menyangkut rancangan undang-undang jabatan hakim ini. Banyak juga calon-calon hakim dari kita," katanya. (KY/Jaya/Festy)