Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus mengisi Kuliah Umum dengan tema “Peranan KY dalam Rangka Melakukan Pengawasan Kinerja Hakim-Hakim di Indonesia”, Rabu (17/10) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Yogyakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus mengisi Kuliah Umum dengan tema “Peranan KY dalam Rangka Melakukan Pengawasan Kinerja Hakim-Hakim di Indonesia”, Rabu (17/10) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Jaja menjelaskan soal independensi hakim. Menurutnya, independensi hakim merupakan asas internasional yang dilindungi dan merupakan bagian dari pemisahan kekuasaan negara demokrasi. Independensi itu, lanjutnya, kekuasaannya tidak mutlak, karena harus diimbangi akuntabilitas.
“KY lahir untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Pengawasan tersebut merupakan fungsi kontrol yang merupakan ciri dari negara hukum. Jadi antara independensi hakim dan akuntabilitas haruslah konsisten berjalan beriringan,” jelas Jaja.
Dalam melakukan pengawasan, KY selalu terbuka untuk melakukan kerja sama dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk civitas akademika untuk membantu pelaksanaan tugas KY, seperti pemantauan.
“Kami baru saja melakukan MoU dengan lembaga yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Pemilu. KY melanjutkan dengan membuat MoU dengan universitas. Harapan kami, universitas dapat melakukan pemantauan peradilan perkara Pemilu. Misalnya dengan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sehingga mahasiswa dapat diarahkan untuk melakukan pemantauan persidangan terkait Pemilu. Sebab pemantauan persidangan merupakan wujud pengabdian terhadap masyarakat yang sesungguhnya," jelas Jaja.
Dalam sesi tanya jawab, Jaja banyak ditanya tentang fenomena OTT terhadap oknum hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jaja menyinggung konsep panopticon jiwa, yakni sebuah model pendisiplinan (istilah awal yang digunakan M. Foucault) yang berhasil dilakukan oleh Jepang dengan baik. Konsep tersebut mencoba membangkitkan mentalitas yang terkontrol, terkoreksi dengan memaksimalkan unsur-unsur dalam sistem budayanya, sehingga tidak menghilangkan kreativitas penegakan hukum.
“Oknum hakim yang kena OTT tersebut merupakan oknum yang tidak dapat mengendalikan gaya hidupnya. Padahal gaji hakim sebenarnya sudah tinggi. Namun jika gaya hidup ikut tinggi, maka gaji juga tidak akan cukup. Oleh karena itu, masyarakat juga harus ikut menjaga marwah hakim dengan tidak ikut
menggoda hakim untuk melakukan pelanggaran kode etik seorang hakim," tegasnya.
Jaja memberi contoh agar masyarakat dapat menghilangkan konsep menang kalah di pengadilan. "Karena masyarakat cenderung menganggap jika kalah, hakimnya pasti kenapa-kenapa. Hal tersebut ikut memberikan tekanan bagi hakim dalam menjalankan tugasnya,” pungkas Jaja.
Sekadar tambahan, selain kuliah Umum juga dilakukan penandatangan MoU antara KY dengan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta yang diwakili Rektor Universitas Atma Jaya Gregorius Sri Nurhartanto. (KY/Noer/Festy)